subscribe to RSS

Kepribadian Diri dan Moral

Posted by Andi Heru Susanto. M.Si on Kamis, 26 Februari 2009

STRUKTUR KEPRIBADIAN

Manusia dilahirkan dengan potensi-potensi biologis dan mental tertentu yang ditetapkan oleh keturunan biologis yaitu struktur gena-gena, yang diperolehnya dari orang tuanya. Dalam keturunan ini termasuk pula serentetan kebutuhan atau dorongan yang menjai motifasi terhadap tingkah lakunya. Pada saat baru saja dilahirkan, manusia hampir-hampir tak berdaya untuk memenuhi segala kebutuhan itu dengan cara-cara yang efektif. Ia bergantung pada pemeliharaan orang lain. Orang lain ini adalah manusia dari satu lingkungan masyarakat dan kebudayaan. Dari orang-orang inilah ia mempelajari berbagai cara menghadapi kebutuhan. Kebudayaan yang melingkupinya memajukan ketentuan-ketentuan dan perumusan-perumusan padanya mengenai cara-cara yang disebut wajar dan yang tidak. Hal ini berlaku dimana anak yang sedang tumbuh, senantiasa belajar. Dan yang dipelajari dalam hal ini adalah cara-cara penyesuaian diri yang oleh norma-norma kebudyaan tertentu itu diterima sebagai cara sewajarnya. Hal ini tak dapat dielakannya karena ini dapat berarti pertentangan dan kegagalan.

Dalam proses interaksi antara potensi dan kebutuhan seseorang dengan lingkungan kulturilnya itulah, tumbuh pribadinya.

DASAR-DASAR PERKEMBANGAN PRIBADI
Untuk menyederhanakan, dapatlah seorang bayi yang baru dilahirkan dipandang sebagai seorang manusia yang memiliki seberkas kebutuhan dan bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut tidaklah berdiferensiasi yang jelas. Sifatnya lebih umum bila dibandingkan kompleks yang ada pada manusia dewasa. Sukarlah bagi manusia dewasa untuk membayangkan apa yang menjadi “buah fikiran” anak kecil itu ketika ia baru dilepas dari rahim ibunya. Pribadi yang lahir itu segera butuh akan cara-cara yang lain, yang dapat dengan efektif memenuhi kebutuhan–kebutuhan pokoknya.

Diantara unsur lingkungan dengan unsur kebutuhan terdapatlah unsur lain, yaitu fungsi kepribadian, unsur yang mengambil keputusan. Bila kebutuhan timbul dengan kerasnya sehingga sistim tersebut mendesak untuk sesuatu pemenuhan yang segera, maka ada satu bagian dari jiwa manusia yang mengatur pelaksanaannya.


SUARA BATIN ATAU SUPER-EGO
Sampai sejauh ini ingatan sebagai gudang pengetahuan dan pengalaman masa-masa lalu. Tetapi dengan melihatnya lebih dalam lagi, nampak pula bahwa ingata mengandung pula emosi atau perasaan, yang nampak dari kenyataan terbentuknya sika-sikap tertentu pada berbagai hal, peristiwa dan manusia yang kita hadapi sehari-hari. (sikap di sini diartikan sebagai titik pandang dan kecendrungan khusus untuk menimbulkan sebuah tingkah laku dalam menghapi setip pengalaman baru). Sikap ini memengaruhi perasaan dan tindakan kita dalam situsi baru; ada tindakan yang kita sebut baik, ada yang buruk.

Untuk memahami unsur perasaan yang berhubungan dengan ingatan dan pengaruh perasaan atau sikap tersebut, kami ajak pembaca menunjau lgi struktur jiwa yang telah dikemukakan lebih dahulu. Umpamakan timbul perasaan haus. Sumber-sumber kebutuhan atau id meminta pemuasan dengan cara bagaimanapun juga. Tetapi lingkungan manusia menentukan beberapa batas dalam cara pemenuhan itu. Sebab itu menjadi tugas ego atau aku untuk menemukan cara pemuasan yang sesuai dengan syarat lingkungan dan kebutuhan individu. Umpamakan manusia yang haus itu adalah anak kecil umur 2 setengah setengah. Pada saat itu dilihatnya seoreang bayi sedang minum susu. Cara yang paling cepat baginya untuk menghilangkan haus adalah merampas botol susu bayi itu dan meminumnya. Tidak ada perasaan bahwa ia telah berbuat salah. Ia tidak malu. Artinya, ia belim memiliki suara batin yang melarang atau menghukum perasaannya secara psikologis. Karena itu dia minum dengan tenang.

Ciri-ciri pribadi egois
•Hanya dapat melihat dari sudut pandangnya
•Hanya memikirkan kepentingan pribadinya

Dampak Pribadi Egois
•Lingkungan sulit menerimanya karena tidak ada usaha darinya untuk menyesuaikan diri.
•Lingkungan pun sulit untuk mempercayainya sebab lingkungan menilai ia tidak tulus.

PENYEBAB
•Sebagian pribadi egois berasal dari latar belakang keluarga yang terlalu memanjakan sehingga apa pun yang diminta selalu diberikan.
•Sebagian pribadi egois berasal dari latar belakang hampa kasih sayang sehingga ia tidak pernah belajar mengasihi. Ia menjadi hemat mengasihi dan berkorban karena ia tidak pernah mengenal kasih sayang.

Langkah Menuju Perubahan
•Pribadi yang egois mesti menerima fakta bahwa ia egois; jangan lagi berkilah dan menyalahkan orang
•Lihatlah apa yang dibutuhkan orang dan cobalah penuhi, tanpa pamrih

RESENSI POHON KEPRIBADIAN

Keingintahuan, merupakan salah satu sifat yang selalu ada dalam diri kita. Rasa ingin tahu mendorong kita untuk belajar agar mampu untuk terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan kehidupan sekitar. Sebagai mahkluk sosial, manusia membutuhkan orang lain dan dengan sendirinya akan terjadi hubungan/ interaksi. Dalam interaksi ini sering terjadi masalah dan timbul rasa ingin tahu dalam diri kita untuk memahami orang lain agar hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik, apalagi bila hubungan yang telah dibina sangat penting atau punya arti khusus seperti; pacaran atau hubungan dalam keluarga misalnya. Berkaitan dengan itu buku Pohon Kepribadian Anda ini sedikit banyak berusaha untuk menjawab rasa ingin tahu kita dalam memahami orang lain yang juga dapat berguna untuk memahami diri kita sendiri.

EMPAT TIPE KEPRIBADIAN YAITU:
1. Sanguinis
Tipe kepribadian: menyenangkan dan selalu ingin bersenang-senang.Tipe dan arah tindakan: bertindak dengan cara-cara yang mentenangkan. Yang disukai: diberi perhatian, didengarkan dan disetujui pikirannya oleh orang lain. Yang tidak disukai: jika ia tidak mendapat pujian dan humornya tidak ditanggapi oleh teman hidupnya dan jika ia terlalu banyak dikritik dan hidup tidak lagi menyenangkan. Topeng kepribadian: memakai topeng kepribadian badut.
2. Koleris
Tipe kepribadian: ketat dengan aturan, selalu ingin memegang kendali, dan suka memimpin. Tipe dan arah tindakan: bertindak dengan caranya sendiri. Yang disukai: memegang kendali dan berhasil untuk meraih penghargaan. Yang tidak disukai: jika teman hidupnya tidak menyelesaikan pekerjaan dan keberhasilan yang diraihnya tidak dihargai dan jika kehidupan berada diluar pengendaliannya dan tidak ada penghargaan yang diperoleh. Topeng kepribadian: memakai kekuatan kemarahan.

3. Melankolis
Tipe kepribadian: teratur dan menuntut kesempurnaan. Yang disukai: suka keteraturan dan kesempurnaan serta perhatian atas apa yang dilakukan tanpa banyak perubahan dalam hidupnya. Yang tidak disukai: jika teman hidupnya tidak peka terhadap kebutuhannya dan hidupnya tidak teratur dan jika hidup berantakan dan tidak ada harapan. Topeng kepribadian: menuntut kesempurnaan dengan rasa sakit.

4. Phlegmatis
Tipe kepribadian: mencari dan mencintai kedamaian. Yang disukai: akrab dengan kedamaian tidak suka diusik tapi dihormati dan timbul rasa diri berharga. Yang tidak disukai: jika teman hidupnya menganggap ia sebagai hal yang sudah semestinya (memang begitu adanya) dan jika hidup penuh masalah dan tidak ada kedamaian. Topeng kepribadian: mencari kedamaian dengan apatis.
Bagian dua membahas pengertian pohon kepribadian yang dijelaskan pengarang lewat silsilah keluarganya dan beberapa kerabatnya. Ia hendak menunjukkan bahwa ada kelanjutan/ kesamaan kepribadian yang diturunkan dalam hubungan keluarga. Pohon kepribadian tersebut juga memberikan penjelasan mengenai asal-usul kepribadian kita, apa yang diturunkan oleh orang tua, dan yang akan kita turunkan pada anak-anak. Bagian ini juga menjelaskan kepribadian anak-anak dan orang tua lewat penjelasan empat jenis kepribadian, hanya saja pada bagian ini empat perilaku kepribadian tersebut diaplikasikan dalam kehidupan kanak-kanak atau orang dewasa sebagai orang tua. Bagian ketiga berisi tiga buah bab yang menjelaskan bahwa kepribadian yang terluka dapat dipulihkan kembali, akar kepribadian mampu kita cari dan temukan, dan bab terakhir berisikan pertanyaan-pertanaan mengenai manfaat yang dapat dipetik serta renungan-renungan menarik untuk masa depan para pembacanya.

KELAINAN KEPRIBADIAN
Satu Tubuh dengan 24 Kepribadian Kisah Nyata Billy kepribadian ganda, hingga kini masih menjadi rahasia terbesar dunia psikiatri. Teori ilmiah yang dicoba dirangkai untuk menjelaskan fenomena ini sering kali berbenturan dengan fakta di luar jangkauan akal sehat. Setelah Sybil, guru taman kanak-kanak dengan 16 kepribadian mengguncang dunia pada era 70-an, tak banyak literatur ilmiah populer yang mengungkap fenomena kepribadian ganda. Tulisan Daniel Keyes yang muncul di era 80-an ini kemudian memberikan banyak pencerahan. 24 Wajah Billy telah mengguncang Amerika, bukan hanya di kalangan ilmu jiwa melainkan juga masyarakat awam. Kisah kriminal yang dilakukan pria dengan 24 kepribadian ini serta politisasi proses penyembuhan Billy menjadi nilai tambah yang tidak diperoleh dalam Sybil.

24 Alter ego

Kisah nyata Billy jelas akan menyedot konsentrasi, karena lompatan 24 nama tokoh alter ego bisa timbul tiba-tiba, kapan pun, di mana pun. Namun, lebih jauh dari itu, kisah Billy sang psikotis yang piawai melukis ini telah menyeret realitas kehidupan sosial negara adidaya dengan segala implikasinya. Billy lahir dan dibesarkan dalam keluarga submarginal yang terseok-seok bertahan dalam tekanan ekonomi dan liberalisme budaya. Keadaan makin buruk bagi Billy ketika ia menjadi korban perilaku seksual menyimpang saat usianya masih sangat belia.

Tarik ulur politis yang kerap menghambat penyembuhan Billy kian menguatkan kenyataan bahwa sesempurna apa pun sistem yang diterapkan negara adidaya tersebut, hak kaum jelata tetap kerap terpinggirkan. American dream ternyata tak seindah opini yang kerap dilontarkan publik AS. Nyatanya, penyimpangan terjadi di mana-mana, pertanyaan besar tentang eksistensi manusia dan humanisasi merajalela. Billy, mungkin menjadi simbol betapa jargon-jargon kejayaan AS tak mampu menutupi masalah psikososial yang dihadapi masyarakatnya.

Misteri Yang Tak Terjawab

Kendati sejak awal diproklamasikan sebagai buku ilmiah populer, pertanyaan besar justru luput dijawab Keyes. Misteri penyebab munculnya 24 kepribadian dalam satu tubuh tak sedikit pun diungkap buku ini. Kendati secara teoretis masih terdapat pertentangan antar para ahli, semestinya perkembangan terkini teori kepribadian ganda idealnya tetap dinukil. Catatan lainnya, 24 wajah Billy juga menyiratkan kondisi bahwa perkembangan pemahaman kesehatan jiwa, ternyata tak berbanding lurus dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran fisik. Kenyataan itu ternyata tak hanya terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, namun juga di masyarakat modern AS.

Gangguan jiwa kerap disepelekan, tak diwaspadai secara dini. Akibatnya, kerusakan telanjur menjadi kronis dan sulit disembuhkan. Dampaknya, bukan hanya si penderita yang mengalami penderitaan karena sulit beradaptasi di lingkungan sosial, masyarakat di sekitarnya juga terancam terkena dampaknya. Penderita gangguan perilaku seksual yang tak segera ditangani berpotensi berubah menjadi pelaku kejahatan. Korban mereka pun di masa datang bukannya tak mungkin akan berubah menjadi mimpi buruk bagi komunitasnya. Lingkaran mengerikan yang jelas tak mudah ditangani itu turut mewarnai kisah Billy.

Ketiadaan penjelasan tentang munculnya alter ego dari dua jenis kelamin berbeda dengan rentang usia yang sangat beragam membuat pembaca merasa tak tuntas. Bagi mereka yang masih penasaran, menjelajahi perpustakaan dan browsing di internet untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung menjadi solusi utama. Pertanyaan paling mendasar bagi pembaca awam adalah pemicu munculnya lebih dari satu alter ego pada satu tubuh manusia. Pertanyaan berikutnya, bagaimana proses pemulihan yang harus dilalui bagi yang memiliki kepribadian ganda.

Misteri selanjutnya adalah pertanyaan apakah orang yang berkepribadian ganda tetap dapat hidup normal dan bersosialisasi dengan wajar dilingkungan publik. Apakah penyatuan kepribadian-kepribadian unik itu menjadi solusi satu-satunya? 24 Wajah Billy memang tak secara tuntas menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Keyes mungkin sengaja memancing perhatian publik terhadap fenomena kepribadian ganda.


DASAR-DASAR MORAL
Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang kurang bermoral. Maka, secara sederhana kita mungkin dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Namun cukup sulitlah menjawab pertanyaan berikut: orang baik atau bermoral itu yang bagaimana? Oleh karena itu, kiranya akan berguna bagi kita untuk memulai studi tentang moral ini dengan melihat beberapa hal yang paling mendasar tentang kebaikan manusia secara umum, sebelum meninjau patokan–patokan kebaikan di bidang-bidang yang lebih khusus.

SIKAP BATIN DAN PERBUATAN LAHIR
Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu sering-kali juga disebut hati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula.

Dengan kata lain, moral rupanya hanya dapat diukur secara tepat apa bila kedua seginya diperhatikan. Orang hanya dapat dinilai secara tepat apabila hati maupun perbuatannya ditinjau bersama. Kita hanya dapat menilai orang lain dari luar, dari perbuatan lahiriahnya. Sementara hatinya hanya dapat kita nilai dengan cara menduga-duga saja.

UKURAN MORAL
Untuk menilai sikap batin maupun perbuatan lahir dibutuhkan suatu alat, yakni ukuran moral. Manakah ukuran yang dapat kita pakai untuk menilai kebaikan manusia itu? Sejauh manakah ukuran itu patut dipercaya? Sampai kapankah ukuran itu dapat dipakai?

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, kiranya dapat kita katakan bahwa sekurang-kurangnya kita mengenaladanya dua ukuran yang berbeda, yakni ukuran yang ada dalam hati kita dan ukuran yang dipakai oleh orang waktu mereka menilai diri kita. Dalam hati kita ada ukuran subjektif, sedang orang lain lebih memakai ukuran yang objektif. Kita menilai diri kita dengan ukuran kita sendiri, sedabngkan mereka menilai kita dengan ukuran yang umum. Tetapi juga dapat terjadi bahwa sahabat kita memberi penilaian subjektifnya, bukan menurut ukuran yang umum itu.

PERTUMBUHAN HATI NURANI
Hati nurani merupakan pusat kepribadian. Maka seperti seluruh kepribadian, hati nurani manusia juga mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan itu dapat berarti kemajuan, namun juga dapat berarti kemunduran. Mutu dari pertumbuhan itu tergantung pada tanggapan lingkungan maupun pada usaha sendiri.

Lingkungan yang baik dapat mendukung pertumbuhan hati nurani secara positif. Maka kelurga maupun kampung yang baik merupakan bantuan besar bagi warganya untuk dapat maju dalam pertumbuhan hati nuraninya. Sewbaliknya, masyarakat dan keluarga yang buruk akan menghambat pertumbuhan hati nurani. Hati nurani orang yang semula peka dan tajam pun dapat mundur, menjadi tumpul dan bahkan mejadi buta. Namun pertumbuhan hati nirani juga ditetapkan oleh usaha masing-masing pribadi. Sebab, orang toh dapat mempunyai hati nurani yang tetap peka walaupun ia harus hidup dalam lingkungan yang brengsek. Sebaliknya, ada yang tetap tumpul hati nuraninya walaupun hidup dalam lingkungan yang amat baik.

KEUTAMAAN MORAL
Orang yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu yang lama dapat mencapai keunggulan moral yang disebut keutamaan. Keutamaan adalah kemampuan yang dicapai oleh seseorang untuk bersikap batin maupun berbuat secara benar. Misalnya: kerendahan hati, kepercayaan pada orang lain,keterbukaan, kebijaksanaan, ketekunan kerja, kejujuran, keberanian, penuh harap, penuh kasih, dan sebagainya.

Studi Kasus Pernikahan Seykh Puji

Posted by Andi Heru Susanto. M.Si on

Pendahuluan

Studi kasus yang kita bahas kali ini sangat menarik. Pertama, pernikahan yang umumnya dijalani oleh sesama orang dewasa di kasus ini kita membahas pernikahan yang dijalani oleh seorang anak yang belum bisa disebut dewasa. Kedua, perbedaan umur antara suami dan istri sangat mencolok sehingga menimbulkan pertanyaan apakah pernikahan itu terjadi karena faktor cinta ataukah ada faktor lain. Ketiga, salah seorang pelaku pernikahan, yakni sang suami bernama syeh puji adalah orang terpandang. Ia kaya, dihormati, dan dikenal dermawan.

Meskipun begitu pokok pembahasan kita adalah tentang kepribadian para pelaku pernikahan ini. Begitu menariknya kasus ini, membuat kami menjadi tertarik untuk meneliti bagaimana kepribadian mereka serta semua hal yang ikut andil membentuk kepribadian itu.

I. Definisi Kepribadian
Kepribadian itu memiliki banyak arti, bahkan saking banyaknya boleh dikatakan jumlah definisi dan arti dari kepribadian adalah sejumlah orang yang menafsirkannya. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian dan pengukurannya.
Kepribadian secara umum
Personality atau kepribadian berasal dari kata persona, kata persona merujuk pada topeng yang biasa digunakan para pemain sandiwara di Zaman Romawi. Secara umum kepribadian menunjuk pada bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu-individu lainnya. Pada dasarnya definisi dari kepribadian secara umum ini adalah lemah karena hanya menilai perilaku yang dapat diamati saja dan tidak mengabaikan kemungkinan bahwa ciri-ciri ini bisa berubah tergantung pada situasi sekitarnya selain itu definisi ini disebut lemah karena sifatnya yang bersifat evaluatif (menilai), bagaimanapun pada dasarnya kepribadian itu tidak dapat dinilai “baik” atau “buruk” karena bersifat netral.
Kepribadian menurut Psikologi
Untuk menjelaskan kepribadian menurut psikologi saya akan menggunakan teori dari George Kelly yang memandang bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sementara Gordon Allport merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan.
Lebih detail tentang definisi kepribadian menurut Allport yaitu kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran individu secara khas.
Allport menggunakan istilah sistem psikofisik dengan maksud menunjukkan bahwa jiwa dan raga manusia adalah suatu sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta diantara keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku. Sedangkan istilah khas dalam batasan kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap individu memiliki kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang berkepribadian sama, karena itu tidak ada dua orang yang berperilaku sama.
Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem yaitu Id, Ego dan Superego. Dan tingkah laku, menurut Freud, tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kerpibadian tersebut.
Dari sebagian besar teori kepribadian diatas, dapat kita ambil kesamaan sbb(E. Koswara):
1.Sebagian besar batasan melukiskan kerpibadian sebagai suatu struktur atau organisasi hipotesis, dan tingkah laku dilihat sebagai sesuatu yang diorganisasi dan diintegrasikan oleh kepribadian. Atau dengan kata lain kepribadian dipandang sebagai “organisasi” yang menjadi penentu atau pengarah tingkah laku kita.
2.Sebagian besar batasan menekankan perlunya memahami arti perbedaan-perbedaan individual. Dengan istilah “kepribadian”, keunikan dari setiap individu ternyatakan. Dan melalui study tentang kepribadian, sifat-sifat atau kumpulan sifat individu yang membedakannya dengan individu lain diharapkan dapat menjadi jelas atau dapat dipahami. Para teoris kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik dan atau khas pada diri setiap orang.
3.Sebagian besar batasan menekankan pentingnya melihat kepribadian dari sudut “sejarah hidup”, perkembangan, dan perspektif. Kepribadian, menurut teoris kepribadian, merepresentasikan proses keterlibatan subyek atau individu atas pengaruh-pengaruh internal dan eksternal yang mencakup factor-faktor genetic atau biologis, pengalaman-pengalaman social, dan perubahan lingkungan. Atau dengan kata lain, corak dan keunikan kepribadian individu itu dipengaruhi oleh factor-faktor bawaan dan lingkungan.
Dari literatur lain yang penulis dapatkan, kepribadian bisa diartikan juga sebagai arti hidup manusia. Studi tentang kepribadian adalah studi ilmiah yang mempelajari tentang kekuatan-kekuatan psikologis yang membuat masing-masing individu menjadi unik. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan-kekuatan yang kita yakini itu benar. Misalnya : cara berpakaian sopan, logat berbicara kedaerahan, dan lain sebagainya.

Terdapat 8 aspek yang bisa mempengaruhi kepribadian seseorang:
1.ketidaksadaran
2.kekuatan ego
3.makhluk biologis
4.setiap orang dikondisikan oleh pengalaman dan lingkungan sekitar.
5.manusia memiliki dimensi kognitif, yaitu kemampuan berfikir lalu memutuskan jalan keluarnya.
6.seorang individu memiliki kemampuan dan kecenderungan yang spesifik.
7.dimensi spiritual
8.interaksi sosial

Mengingat banyak hal yang bisa mempengaruhi kepribadian, disini kami hanya akan membahas beberapa hal saja. Yang kami bahas disini meliputi :
1.Pembahasan secara psikologis pelaku pernikahan syeh puji dengan istri-istrinya ini.
2.Sudut pandang agama islam yang notabene sangat erat kaitannya dengan terjadinya peristiwa pernikahan ini.
3.Sisi ekonomi para pelaku yang mana bisa terlihat perbedaan mencolok antara syeh puji dengan istri-istrinya.
4.Tanggapan masyarakat umum tentang kasus pernikahan ini, dan hubungannya dengan kepribadian pelaku pernikahan
5.Kritik dan saran penulis akan kasus ini dan kasus serupa demi kebaikan semua pihak.

II.PEMBAHASAN PSIKOLOGIS

Seperti telah kami jelaskan diatas, bahwa bicara kepribadian berarti juga bicara tentang sisi psikologis dari orang yang ingin kita telaah kepribadiannya. Sebab kepribadian itu bisa dibentuk melalui dua faktor yaitu lingkungan dan bawaan. Untuk itu dibagian ini kami akan mencoba membahas kepribadian pelaku pernikahan unik ini dari sisi kondisi psikologisnya. Karena dalam pernikahan yang menjalani adalah dua orang atau lebih, dalam kasus ini syeh Puji dengan Istri-istrinya, maka penulis akan mencoba membahas kondisi psikologis mereka.

A. Kondisi Psikologis Syeh Puji

Seperti kita tahu, beberapa saat yang lalu dimedia cetak maupun televisi diramaikan dengan berita pernikahan Syeh puji dengan seorang anak bernama Lutfiana Ulfa yang baru berusia 12 tahun. Begitu intensnya media menyorot kasus ini sehingga mengundang banyak kalangan untuk unjuk bicara. Perhatian masyarakat seolah tak pernah lepas dari kasus unik ini. Walaupun kasus pernikahan anak berusia belia sudah banyak terjadi di masyarakat, tetap saja kasus kali ini sangat menarik untuk disimak.

Hal pertama yang menjadi perhatian publik adalah status Syeh Puji. Ia tercatat sebagai sesepuh sebuah pondok pesantren di semarang bernama Ponpes Miftahul Jannah. Selain itu ia juga seorang penguaha sukses dengan perusahaannya bernama PT Sinar Lendoh Terang. Di semarang, ia bahkan pernah mendapat penghargaan sebagai tokoh sosial dari Pemkab Semarang. Sebagai seorang yang berpunya, syeh puji diberitakan pernah zakat 1,3 M. Jumlah yang tidak sedikit tentunya bagi masyarakat pada umumnya.

Berita tentang Syeh Puji ini, dari segala sisi pembahasan memang sangat menarik untuk diulas. Namun disini saya hanya akan membahasnya dari segi ilmu Psikologi. Pertanyaannya adalah adakah hubungan kepribadian syeh Puji yang nyentrik ini dengan ilmu psikologi? Jawabnya tentu saja ada. Bukankah kepribadian seseorang sangat erat hubungannya dengan kondisi psikologis seseorang?

Nantinya kami akan membahas kondisi psikologis Syeh Puji sendiri dan juga kondisi Psikologis calon istri maupun yang sudah menjadi istrinya. Perlu dicatat bahwa untuk mengetahui kondisi psikologi seseorang, harus dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan yang bersangkutan. Untuk melakukan itu bukanlah keahlian bidang ilmu yang kami pelajari. Disini kami hanya bisa membuat beberapa kesimpulan tentang kondisi psikologis mereka tanpa melakukan wawancara langsung, melainkan dengan menyimak berita media dengan buku-buku psikologi sebagai dasar teorinya. Jadi apa yang kami tulis disini sebaiknya jangan menjadi acuan langsung dalam membuat karya tulis psikologi yang lain. Melainkan hanya sebagai pandangan umum tentang wacana pernikahan Syeh Puji yang nyentrik ini.

Apakah perilaku syeh Puji ini merupakan perilaku abnormal?

Psikologi abnormal merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang berupaya untuk memahami pola perilaku abnormal dan cara menolong orang-orang yang mengalaminya (Nevid, Jeffrey s. and friend, 2003). Psikologi abnormal mencakup sudut pandang yang lebih luas tentang perilaku abnormal dibandingkan studi tentang ganguan mental. Sebagai contoh, pemerkosaan tentu saja merupakan suatu bentuk perilaku abnormal, walaupun tidak dapat diklasifikasikan sebagai gangguan psikologis.

Para ahli kesehatan mental menggunakan berbagai kriteria dalam membuat keputusan tentang apakah suatu perilaku abnormal atau tidak. Kriteria yang paling umum digunakan adalah:
1.Perilaku yang tidak biasa.
2.Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma sosial.
3.Persepsi yang salah terhadap realitas.
4.Perilaku yang maladaptif atau self-defeating.
5.Perlaku yang berbahaya bagi diri sendiri ataupun orang lain.

Dalam kasus ini, penulis menyimak bahwa tindakan Syeh Puji yang sering kawin cerai hingga akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dengan beberapa wanita yang dari segi usia bisa terbilang masih anak-anak, sebagai perilaku abnormal. Ini berdasar dari kesesuaian dengan beberapa kriteria yang dipakai para ahli psikologi dalam menggolongkan suatu kasus sebagai perilaku abnormal. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya sesuai menurut orang lain, tapi dari pandangan penulis tindakan syeh puji ini masuk kriteria pada butir ke 1,2 dan 5.

Pentingkah mengetahui apakah perilaku syeh puji ini abnormal?

Seperti kita bahas diatas, bahwa menurut penulis perilaku syeh puji ini tergolong perilaku abnormal. Alasannya adalah sebagai berikut:

1.Perilaku syeh puji ini tidak biasa terjadi pada individu umumnya.
Seorang lelaki yang serius ingin berumah tangga tentu ingin mencari pasangan hidup seorang wanita dewasa. Mengapa? Karena tentu ia ingin mendapat pelayanan dari sang istri. Pelayanan ini bukan hanya dalam bentuk seks semata, tapi jauh lebih luas lagi. Contohnya adalah rasa tidak sendiri ketika suami ditimpa masalah, Suami bisa mengajak istri untuk berunding mencari solusi, bisakah ini terjadi jika istri kita masih tergolong anak-anak?
Tidak mengapa jika pembaca bertanya lagi, bukankah syeh puji ini termasuk orang super kaya? Ia bahkan pernah berzakat 1,3 M. Masalah serius apalagi yang bisa menimpa orang seperti itu?

Dalam hidup ternyata masalah tidak hanya berupa materi. Hidup bekerja dengan cara yang misterius. Orang miskin banyak masalah karena sering kurang makan. Tapi orang kaya bisa saja terkena masalah karena kasus lain, misalnya sakit berkepanjangan yang akhirnya menguras habis uangnya untuk pengobatan. Apapun jenis masalah dalam berumah tangga tetap membutuhkan sepasang suami istri yang dewasa, yang bisa menentukan dan mengambil keputusan untuk nasib rumah tangga mereka sendiri. Pihak istri harus terlibat juga dalam mengambil keputusan seperti ini, karena ia juga nantinya ikut menanggung akibat dari keputusan yang diambil mereka.

Bila alasan syeh puji mempersunting wanita yang berusia anak-anak adalah untuk mendidiknya menjadi istri yang lebih baik, maka bukankah dibutuhkan seseorang yang dewasa pula untuk bisa memahami mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk? Penulis merasa bahwa belum saatnya anak-anak itu belajar tentang kerasnya hidup. Seharusnya mereka diberi kesempatan untuk bermain dan belajar tentang hidup itu sendiri seiring dengan waktu. Siapa yang bisa membeli umur kita? Siapa yang bisa mengembalikan masa kanak-kanak kita yang indah? Apapun alasannya, bermain dan belajar adalah hak mereka.

2.Pernikahan syeh puji ini tidak dapat diterima oleh semua masyarakat.
Memang dimasyarakat banyak terjadi kasus seorang lelaki menikahi beberapa wanita. Tetapi bila diteliti lebih lanjut, ternyata pernikahan ini seringkali mengakibatkan kegagalan dalam proses berumah tangga yang harmonis. Ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, salah satu diantaranya adalah ada seorang istri atau lebih yang akhirnya harus menderita sendirian karena tidak kunjung diurus sang suami. Ujung-ujungnya banyak terjadi kasus perselingkuhan, karena tuntutan kebutuhan biologis oleh sang istri.

Agama islam yang merupakan agama mayoritas yang banyak dianut oleh masyarakat indonesia memang mengijinkan seorang suami untuk menikahi lebih dari satu wanita. Tetapi bila dikaji lebih jauh, menikahi lebih dari seorang wanita tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, atau serta merta dihalalkan. Salah satu syarat yang penulis tahu adalah suami harus bisa bersikap adil pada semua istrinya. Kedengarannya memang mudah untuk dipenuhi, padahal adil disini berarti adil dalam semua aspek kehidupan berumah tangga. Banyaknya kasus kegagalan berumah tangga dalam pernikahan seperti ini menunjukkan bahwa tujuan pernikahan sebenarnya yaitu membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah jadi tidak tercapai. Bukankah menelantarkan seorang istri dalam rumah tangga adalah dosa yang amat besar?

Wanita yang normal tentu akan merasa cemburu bila ada wanita lain dalam rumah tangga. Normal disini hanya berarti, wanita yang keimanannya standard, tidak merelakan dirinya untuk dimadu suami walaupun dijanjikan surga pada dirinya kelak. Penulis juga berpendapat, bukankah sudah menjadi haknya untuk cemburu, setelah ia diikat oleh sang suami dengan suatu komitmen pernikahan? Bukankah tidak ada perasaan cinta tanpa api cemburu didalamnya?

Dari beberapa penjelasan diatas, bisa kita mengerti mengapa masyarakat luas pada umumnya masih takut dan menolak untuk menjalani pernikahan matrilineal atau satu suami dengan banyak istri. Jadi pantaslah penulis menyimpulkan bahwa perilaku syeh puji yang ingin menikahi beberapa gadis sekaligus tidak bisa diterima begitu saja oleh masyarakat luas. Apalagi yang akan dinikahinya ini adalah wanita-wanita yang masih tergolong anak-anak. Sedangkan dalam hukum negara sendiri, pernikahan hanya boleh terjadi pada wanita berusia 16 tahun (Sarlito Wirawan Sarwono, 1988 hal 6).

3.Pernikahan syeh puji membawa dampak negatif atau berbahaya bagi orang lain.
Dampak negatif ini bukan hanya terjadi pada orang-orang yang secara langsung terlibat dalam pernikahan, seperti sang istri. Dari sisi Syeh puji, dampak negatif yang akan ia terima dari pernikahannya dengan seorang anak adalah kerepotannya dalam mengurus istrinya yang masih anak-anak. Ada kecenderungan pola pikir yang berbeda antara anak-anak dengan orang dewasa. Bila ini tidak bisa dipahami oleh syeh puji, maka akan terjadi miskomunikasi antara ia dengan istri-istri kecilnya. Biasanya yang lebih muda (istrinya) juga yang akan jadi korban, harus mengalah dan mengikuti pola pikir suami yang sebenarnya belum ia mengerti. Lalu bagaimana bisa terjadi rumah tangga yang bahagia dan harmonis bagi keduanya jika demikian halnya?

Dari sisi istri kecilnya, dampak negatif yang nyata terlihat adalah hilangnya masa kanak-kanak mereka karena dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Ia harus dihadapkan pada persoalan mengurus suami dan anak jika ia telah dikaruniyai anak. Belum lagi jika ternyata syeh puji tidak lagi cocok dengannya dan akhirnya menceraikannya, tentu ia akan menanggung beban yang sangat berat. Selain status janda, yang pada banyak wanita cukup menjadi momok menakutkan, ia juga akhirnya harus berjuang sendiri menghadapi kerasnya hidup. Padahal ia belum memperoleh bekal ilmu yang cukup untuk mengarungi hidup. Ujung dari semua itu lagi-lagi adalah bertambahnya warga bahkan keluarga miskin baru di Indonesia tercinta ini.
Dampak negatif dimasyarakat adalah ketika pernikahan ini dianggap syah-syah saja dan biasa terjadi dimasyarakat. Syeh puji yang notabene terpandang, dan bisa dikatakan mewakili golongan umat islam yang melek agama, perilakunya menikah berkali-kali bahkan dengan anak-anak kecil akan mudah ditiru oleh masyarakat. Toh itu tidak melanggar norma apapun di Indonesia ini, buktinya syeh puji yang tahu akan agama islam damai saja menjalani pernikahan seperti ini, mungkin anggapan mereka akan begitu. Bila hal ini sudah terjadi penulis berpendapat akan makin banyak keluarga miskin di Indonesia ini karena makin banyak mantan istri dan anak-anaknya ditelantarkan oleh suami-suami yang tidak bertanggung jawab.

Dari ketiga pembahasan diatas wajar jika penulis menarik kesimpulan bahwa perilaku syeh puji yang sering kali menikah dan cerai bahkan sekarang hendak menikahi beberapa anak sekaligus termasuk perilaku abnormal? Lantas memangnya kenapa jika perilakunya itu tergolong perilaku abnormal?

Kasus Syeh Puji adalah Sebuah Kasus Khusus

Jika kita sudah menyimpulkan perilaku syeh puji ini sebagai perilaku abnormal, akibatnya adalah apa yang dilakukan syeh puji ini tidak bisa boleh dicontoh oleh masyarakat pada umumnya, terlepas boleh tidaknya hal itu dilakukan. Kita harus melihat kasus ini sebagai kasus khusus, yang perlu perhatian khusus, bahkan jika ternyata terbukti ada penyimpangan kepribadian maka harus disarankan pada syeh puji untuk melakukan terapi kepribadian. Yang terakhir ini hanya jika memang sudah terbukti benar.

Sebagai catatan penting, disini kami tidak bermaksud menghakimi syeh puji atas tindakannya. Kami hanya ingin menunjukkan bahwa tindakan syeh puji ini tidak layak untuk ditiru oleh orang lain pada umumnya. Sebagai penyeimbang pula kami sampaikan bahwa menurut literatur yang kami baca seseorang yang berperilaku abnormal belum tentu ia mengalami ganguan mental. Sebagai contoh: pemerkosaan tentu saja merupakan perilaku abnormal, tetapi tidak bisa diklasifikasikan sebagai gangguan psikologis (Nevid, Jeffrey S., 2003, hal 4). Selain itu dibuku yang sama juga disebutkan bahwa perilaku yang dianggap normal pada satu budaya, bisa saja dianggap normal menurut budaya lain.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Psikologis Syeh Puji

Kondisi psikologis seseorang bisa dipengaruhi oleh banyak hal. Bisa merupakan bawaan sejak lahir, bisa juga dari pengaruh lingkungan. Untuk pembahasan kali ini kita hanya akan membatasi pada pengaruh lingkungan dan pengalaman hidup syeh puji.

Syeh puji dikenal sebagai pengusaha sukses. Ia menjadi sangat kaya karena keuletannya berusaha hingga akhirnya memiliki perusahaan yang mapan. Hal itu bisa dilihat dari berita di sebuah media Indonesia bahwa ia pernah menunaikan ibadah zakat hingga 1,3 Milyar.

Namun seperti banyak kasus pada umumnya yang penulis amati, kehidupan seseorang didunia ini tidak ada yang sempurna. Keberhasilannya dalam hal ekonomi tidak serta merta diikuti keberhasilannya dalam membina rumah tangga. Terbukti pernikahan syeh puji ini sering kali berakhir dalam kegagalan. Berulang kali pernikahannya hanya bisa bertahan beberapa bulan saja dengan istri-istrinya yang sebelumnya. Rata-rata wanita yang dinikahi syeh puji terbilang masih muda. Sebelum mencuatnya kasus menghebohkan saat pernikahannya dengan ulfa, syeh puji sudah pernah menikah selama empat kali.

Dari istri pertamanya ia dikaruniai 2 orang anak. Namun pernikahan itu berakhir dengan perceraian. Puji kemudian menikah dengan Miftahul Husna atau bu Nana pada tanggal 1998. Namun pernikahannya kali ini juga berujung perceraian. Pria kaya ini lalu menikahi Meike, tapi baru satu tahun keduanya pun bercerai. Puji juga diketahui menikah dengan tetangganya yang bernama Saitun Hasanah, namun keduanya bercerai dalam hitungan minggu.

Berulang kali kawin cerai inilah yang mempengaruhi kondisi psikologis syeh Puji sehingga ia merasa taruma dengan wanita dewasa, meskipun hal ini mungkin tidaak disadarinya. Terbukti setelah perceraiannya itu syeh Puji lebih memilih wanita yang masih berusia anak-anak untuk kemudian dinikahinya. Selain itu menurut penulis, syeh puji lebih suka memilih anak-anak untuk dijadikan istri karena sudah pasti anak-anak lebih mudah diatur dan lebih penurut dari pada orang dewasa. Seringnya syeh Puji mengalami kegagalan dalam berkeluarga juga disebabkan karena kepribadian syeh Puji yang rupanya ingin mempraktekkan poligami. Poligami yang menurut agama islam memang diijinkan walaupun sebenarnya syaratnya tidaklah mudah dipenuhi ini, ternyata tidak bisa begitu saja diterima oleh semua kaum hawa. Untuk itu syeh Puji akhirnya memilih untuk menikahi anak-anak agar terhindar dari kegagalan berumah tangga untuk yang kesekian kalinya.

B. Kondisi Psikologis Wanita yang Dinikahi

Tidak banyak yang akan kami bahas untuk kondisi psikologis Istri maupun mantan istrinya syeh Puji ini. Secara umum, kegagalan syeh Puji dalam berumah tangga sangat erat hubungannya dengan kepribadian syeh Puji yang senang berpoligami. Hal ini membuat istri-istrinya sebelumnya tidak tahan hingga memutuskan untuk bercerai dengannya. Bila ditilik lebih jauh, sebenarnya menjadi istri seorang syeh Puji seharusnya bisa membuat wanita manapun berbahagia. Karena pada beberapa kasus ada wanita yang rela dimadu asalkan kebutuhan mereka masih bisa dipenuhi oleh sang suami. Hal ini menimbulkan sedikit kecurigaan pada penulis, jangan-jangan ada kepribadian lain syeh Puji yang membuat seorang wanita tidak tahan menjadi istrinya walaupun bergelimang harta. Sayangnya untuk yang satu ini penulis tidak mendapat data yang pasti mengingat kehidupan rumah tangga seseorang merupakan privacynya.

Untuk istri kecilnya ulfa, maupun calon istri kecilnya yang lain tidak banyak yang bisa kami analisa. Seorang anak biasanya cenderung menurut pada perintah orang tua. Jadi jika orang tuanya menghendaki ia menikah dengan syeh Puji maka mereka hanya bisa menurut saja. Hal itu disebabkan karena :
1.Seorang anak belum bisa memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga ia takut jika tidak memenuhi perintah orang tuanya pasti akan dicampakkan orangtuanya.
2.Seorang anak belum memiliki pola pikir yang matang sehingga belum bisa mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri.
3.Menikah dengan orang kaya mungkin dianggapnya seperti memiliki orang tua baru yang bisa memenuhi semua keinginannya kelak.
4.Rasa berbalas budi pada orang tuanya yang telah mengasuh dan melahirkannya.

Yang menarik untuk dibahas adalah kondisi psikoogis istri kecil syeh puji tersebut. Di banyak kasus nyata, seorang wanita yang menikah usia dini atau tergolong masih anak-anak akan dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Tugas seorang istri adalah mengurus sang suami. Lantas bagaimana ia akan mengurus syeh Puji jika mengurus dirinya sendiri saja ia tidak bisa. Ini akan mengakibatkan kebingungan bagi si anak karena tidak bisa mengikuti pola pikir dewasa yang memang belum waktunya. Ia akan ragu menentukan mana yang salah mana yang benar. Apa kewajibannya sebagai seorang istri dan mana yang menjadi haknya.

Seperti kita tahu, masa dewasa akan dialami setelah terlebih dahulu mengalami masa remaja. Padahal masa remaja ini diakui oleh hampir semua orang sebagai masa yang labil dan penuh gejolak. Masa remaja ini merupakan saat pematangan untuk akhirnya menjadi dewasa. Baik itu pematangan secara fisik maupun pematangan pola pikir. Apabila masa remaja ini saja diakui banyak psikolog sebagai masa trouble maker/ masa pembuat masalah, lalu bagaimana seorang anak bisa tiba-tiba menjadi dewasa dan dipaksa untuk berpikir dan bertindak dewasa? Bagaimana bisa seorang anak menjadi dewasa tanpa melewati masa remajanya?

Jadi untuk membahas kondisi psikologis ulfa dan teman-temannya yang lain sebagai istri syeh puji nantinya kita bisa membahas kondisi psikologis remaja dalam prosesnya mencari jatidiri menjadi dewasa. Kalau remaja saja untuk bisa dewasa harus mengalami banyak rintangan dan permasalahannya, apalagi anak-anak yang tiba-tiba harus menjadi dewasa. Tentu akan banyak konflik kepribadian yang terjadi padanya.

Konsep remaja bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan melainkan berasal dari ilmu-ilmu sosial lainnya seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, dan Paedagogi. Konsep remaja juga merupakan konsep yang relatif baru. Sehingga tidak mengherankan kalau Undang-Undang yang ada di berbagai negara tidak mengenal istilah “remaja”.

Di Indonesia, hanya undang-undang perkawinan saja yang mengenal konsep remaja. Usia minimal untuk perkawinan menurut Undang-undang ini adalah 16 tahun untuk Wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7 UU No.1/1974 tentang perkawinan). Jelas bahwa undang-undang tersebut menganggap orang dibatas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka boleh menikah. Walaupun begitu, selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun masih diperlukan orang tua untuk menikahkan orang tersebut. Jadi tampak jelas walaupun undang-undang tidak menganggap mereka yang diatas usia 16 bagi perempuan dan 19 tahun sebagai laki-laki sebagai bukan anak-anak lagi, tetapi mereka juga belum dianggap sudah dewasa penuh, sehingga masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan mereka. Karena itu waktu antara 16/19 tahun sampai 21 tahun inilah yang dapat disejajarkan dengan pengertian-pengertian “remaja” dalam ilmu-ilmu sosial yang lain.

Berdasarkan fakta diatas, penulis semakin yakin Lutviana Ulfa dan teman-teman sebayanya lainnya yang hendak diperistri syeh Puji ini tergolong masih usia anak-anak. Dengan usia seperti itu bisa dipastikan mereka akan mengalami banyak konflik kepribadian maupun konflik batin lainnya jika dipaksa menjadi dewasa tanpa melewati masa remaja.

III.PENGARUH HUKUM PERNIKAHAN DALAM AGAMA ISLAM DENGAN KEPRIBADIAN SYEH PUJI

Sebelum membahas lebih jauh, penulis yakin bahwa sebagian besar pembaca pasti bertanya-tanya jika kita membahas tentang kepribadian seseorang mengapa kita membahas juga mengenai hukum islam tentang pernikahan seperti ini. Adakah hubungan diantara keduanya? Jawabannya tentu saja ada. Alasannya adalah :
1.seykh puji adalah seseorang yang taat beragama dan memiliki pondok pesantren. Sebagai orang islam yang taat dia dalam melakukan segala sesuau hal selalu terpanduaan dengan syariah islam. Jadi untuk menikah pun dia pasti memikiran sudut pandang islam yang ia yakini.jadi kepribadian seykh puji juga dipengaruhi oleh keyakinan dalam beragama islam.
2.hukum islam tentang seorang lelaki yang menikahi wanita yang tergolong usia anak-anak, terdapat dua pendapat yang masing-masing memiliki pijakan dalil yang kuat. Satu pendapat mengatakan bahwa Islam tidak melarang menikahi wanita seperti ini berdasarkan apa yang dialami Aisyah istri Rosulullah SAW. Sementara pendapat yang lain menyanggahnya/ menentang pernikahan wanita di usia anak-anak.

Pendapat Pertama, Islam Mengijinkan Pernikahaan Wanita Berusia Anak-Anak
Pendapat ini mengatakan bahwa pernikahan Syekh Puji & Ulfa Adalah Syah, Tetapi Mengapa Banyak Yang Menentangnya? Dibawah ini adalah dalil-dalil yang mereka pergunakan:

Al Quran : (4) An Nisaa’ : Ayat 3
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)
Al Quran : (4) An Nisaa’ : Ayat 23
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:3).
Pandangan Ulama’ yang menganut faham diatas

Menikahi atau menikahkan perempuan di bawah umum, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam sah. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Demikian, penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).”[1]
Salah satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan:
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (TQ.s. at-Thalaq [65]: 04)

Allah menetapkan perempuan dengan predikat: wa al-la’i lam yahidhna (yang belum haid) dengan ‘iddah selama 3 bulan, sementara ‘iddah 3 bulan tersebut hanya berlaku bagi perempuan yang ditalak atau difasakh, maka ayat ini menjadi dalalah iltizam, bahwa perempuan yang disebutkan tadi sebelumnya telah dinikah, kemudian ditalak atau difasakh.[2]
Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah —radhiya-Llahu ‘anha— dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih) [3]
Selain redaksi di atas, juga terdapat riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, dari ‘Urwah dari Aisyah, yang menyatakan:
“Nabi menikahi beliau (Aisyah) ketika beliau berumur tujuh tahun. Penikahan beliau dengan Nabi diumumkan ketika beliau berumur sembilan tahun, ketika beliau masih menggendong mainannya. Nabi meninggalkan beliau (wafat), ketika beliau berusia delapan belas tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih) [4]

Ibn Hazm, mengutip pendapat Abu Muhammad, bahwa argumentasi yang digunakan untuk melegalkan tindakan orang tua menikahkan anak perempuannya di bawah umur adalah tindakan Abu Bakar —radhiya-Llahu ‘anhu— menikahkan Aisyah ra. dengan Nabi saw. ketika beliau Aisyah berusia enam tahun. Ini merupakan riwayat yang populer, dan tidak perlu dikemukakan lagi isnad-nya.[5]

Namun, Ibn Hazm juga mengutip pendapat Ibn Syubramah, yang menyatakan, bahwa tidak boleh menikahkan anak di bawah umur sampai akil baligh, dan menegaskan bahwa pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. itu merupakan kekhususan bagi Nabi, tidak untuk yang lain.[6] Pendapat ini telah digugurkan dengan sejumlah fakta pernikahan para sahabat dengan perempuan di bawah umum, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khatthab ketika menikahi Ummu Kaltsum, putri ‘Ali bin Abi Thalib, dan Qudamah bin Math’ghun yang menikahi putri Zubair.[7]

Seputar Hadits Pernikahan ‘Aisyah

Hadits tersebut, selain dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, juga dikeluarkan oleh an-Nasai. Bedanya, an-Nasai tidak hanya menuturkan melulu melalui jalur Hisyam dari ayahnya, ‘Urwah, tetapi juga jalur Abu ‘Ubaidah dan al-Aswad.[8] Jika menganalisis lafadz kedua hadits di atas memang ada perbedaan; Lafadz pertama menyatakan, Nabi menikahi Aisyah ketika berumur enam tahun. Sedangkan lafadz kedua, menyatakan, bahwa Nabi menikahi Aisyah ketika berumur tujuh tahun. Hanya saja, dalam menentukan mana yang lebih kuat; apakah penuturan Aisyah sendiri, atau kesimpulan perawi? Tentu, yang paling kuat adalah penuturan pelaku langsung. Sebab ini bukan kesimpulan perawi, tetapi penuturan langsung pelakunya, yang mengalami sendiri peristiwa tersebut. Karena itu, riwayat yang menyatakan, bahwa Aisyah dinikahi oleh Nabi dalam usia enam tahunlah yang paling kuat. Ini dari segi matan (redaksi) hadits.

Adapun dari segi sanad, kedua hadits di atas adalah sama-sama merupakan hadits sahih, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jika dilihat dari segi sanad, kedua hadits tersebut bisa masuk dalam katagori hadits mu’an’an, yang dalam lazimnya kaidah periwayatan hadits termasuk dalam kelompok hadits dhaif. Namun, khusus kasus hadits mu’an’an dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, dikecualikan dari kaidah tersebut. Dengan kata lain, hadits mu’an’an dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim tetap dianggap oleh para ahli hadits sebagai hadits sahih. Selain itu juga harus dicatat, bahwa kaidah atau teori hadits itu baru muncul belakangan, jauh setelah munculnya Shahih al-Bukhari dan Muslim. Karena itu, hadits pernikahan Aisyah dengan Nabi saw. tersebut jelas merupakan hadits sahih, yang kesahihannya tidak patut diperdebatkan lagi. Selain itu, makna hadits tersebut juga tidak bertentangan dengan nas yang qath’i, seperti al-Qur’an, surat at-Thalaq: 4, justru saling menguatkan.

Status Perawi Hadits Aisyah

Mengenai status Hisyam (w 145 H), yang konon baru meriwayatkan hadits ini di usianya ketujuhpuluh tahun, dan itu pun dituturkan pada saat di Irak, maka harus diteliti:
Pertama, dalam konteks ada’ (penyampaian) riwayat, tidak ada larangan seseorang menyampaikan riwayat di usia senja. Tentu dengan catatan, bahwa faktor ingatan (dhabt)-nya tidak ada masalah. Dalam kasus periwayatan Hisyam di Irak, yang dipersoalkan oleh ahli hadits adalah ketidakkonsistenan Hisyam dalam menyampaikan model periwayatan.[9] Beliau kadang mengatakan: haddatsani abi, yang berarti Hisyam mendengar langsung dari ayahnya, dalam posisi beliau sudah mempersiapkan materi hadits dan menghapalnya. Kadang beliau mengatakan: akhbarani abi, yang berari hadits tersebut dibacakan oleh ayahnya. Kadang beliau mengatakan: yaqulu li abi, yang berarti beliau mendengarkan hadits tersebut dari ayahnya, tanpa persiapan dan hapalan sebelumnya.[10] Namun, secara umum Hisyam, sebagaimana penuturan Ibn Hibban, dalam kitabnya, ats-Tsiqat, adalah orang yang terpercaya (mutqin), wara’, mulia (fadhil) dan hafidh.[11]
Kedua, tidak ada bukti satu pun yang bisa memastikan, bahwa hadits Aisyah tersebut dituturkan oleh Hisyam di usianya yang senja, atau ketika beliau pindah ke Irak. Karena itu, catatan Ya’kub bin Syibah, tentang kondisi Hisyam di Irak: “Hisyam adalah tsiqah, yang tidak ada penolakan sedikit pun terhadap riwayat yang datang darinya, kecuali setelah dia menetap di Irak.”[12] tidak bisa digunakan untuk mejustifikasi, bahwa hadits pernikahan Aisyah tersebut tidak kredibel. Sebab, semua ahli hadits dan biografi perawi sepakat, bahwa hadits Hisyam tetap kredibel, terutama hadits yang terdapat dalam kitab Shahih. Salah satunya, bisa kita lihat pernyataan Ibn Kharrasy: “Hisyam adalah orang yang jujur (shaduq), dimana haditsnya banyak masuk di dalam kitab Shahih.”[13]
Jika kesimpulan hadits pernikahan Aisyah tersebut ditarik pada posisi Hisyam setelah pindah ke Irak dan di usianya yang senja, maka penarikan kesimpulan seperti ini tidak didasarkan pada fakta, melainkan hanya asumsi. Karenanya, kesimpulan hadits tersebut tidak kredibel, karena faktor Hisyam, ini merupakan kesimpulan logika mantik. Inilah sebenarnya yang terjadi. Karena itu, cara berfikir seperti ini sangat fatal.

Berapa Umur Aisyah ketika Menikah?

Dalam konteks ini memang ada dua riwayat; penuturan Aisyah sendiri, yang menyatakan dinikahi oleh Nabi ketika berusia enam tahun, dan penuturan ‘Urwah, yang menyatakan tujuh tahun. Dalam konteks matan, sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka penuturan Aisyah tentu lebih kuat, ketimbang penuturan tidak langsung yang disampaikan oleh ‘Urwan. Selain itu, perbedaan seperti ini tidak terlalu urgen, mengingat selisih waktu sering kali terjadi, karena beda pijakan dalam perhitungannya. Namun demikian, dua riwayat ini juga bisa dikompromikan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Hajar, sehingga bisa disimpulkan, bahwa Aisyah telah berusia enam tahun, memasuki tahun ketujuh.[14]

Namun, ada kesimpulan lain yang dikembangkan, seolah-olah Aisyah berusia tujuhbelas, delapanbelas atau sembilanbelas tahun. Kesimpulan seperti ini tentu tidak mempunyai pijakan faktual, selain asumsi mantik. Sebagai contoh, pernyataan at-Thabari: “Semua anak Abu Bakar dilahirkan pada masa Jalihiyah dari dua isterinya.”[15]

Dengan asumsi ini, maka Aisyah pun diklaim telah lahir pada masa pra Islam. Padahal, menurut riwayat yang sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Hajar, dalam al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Aisyah dilahirkan pada tahun keempat atau kelima bi’tsah.[16] Menarik Aisyah dalam katagori “semua anak” Abu Bakar jelas bertentangan dengan fakta, bahwa Aisyah tidak sama dengan anak-anak Abu Bakar yang lain, dimana Aisyah dilahirkan setelah bi’tsah, sementara yang lain sebelumnya.

Kesimpulan-kesimpulan mantik seperti ini sebenarnya tidak sulit dipatahkan, ketika kesimpulan ini terbukti bertentangan dengan riwayat yang sahih. Bukan sebaliknya, riwayat yang sahih justru diruntuhkan dengan menggunakan kesimpulan-kesimpulan yang dibangun melalui logika mantik. Wallahu a’lam.
[1] Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, t.t., Yordania, juz II, hal. 1600.
[2] Lihat, ibid, juz II, hal. 1600-1601.
[3] Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 3681; Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 1422. Lihat, Ibn Qudamah, ibid, juz II, hal. 1600.
[4] Lihat, Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 4739; Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 2549.
[5] Ibn Hazm, al-Muhalla fi Syarh al-Mujalla bi al-Hujaj wa al-Atsar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Yordania, t.t., hal. 1600.
[6] Lihat, Ibid, hal. 1600.
[7] Lihat, Ibn Qudamah, ibid, juz II, hal. 1600.
[8] Lihat, Ibn Qudamah, ibid, juz II, hal. 1600.
[9] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Maktabah Syamilah, t.t., juz XI, hal. 45.
[10] Mahmud at-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. 133.
[11]IbnHajar,ibid,juzXI,Hal.46.
[12] Ibid,hal.5.
[13] Ibid,hal.45.
[14] Ibn Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1995, juzVIII,hal.232.
[15] At-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz , hal. .
[16] Ibn Hajar, Ibid, juz VIII, hal. 232.
sumber :hizbut-tahrir.or.id
Pendapat Kedua, Menyanggah Pendapat diatas.
pendapat yang menyanggah pendapat yang di atas adalah dikeluarkan oleh :Ahmad Muhd Nur Ariff, di/pada Desember 4th, 2008 pada 11:48 am Dikatakan:

Apakah Benar Aisyah r.anha bernikah ketika berumur 9 tahun kerana ia ;
Hujah Pertama – Bertentangan Dengan Fitrah Manusia
Hujah Kedua – Bertentangan Dengan Akal Yang Waras
Hujah Ketiga – Tiada Contoh Ditemui Di Negeri Arab Atau Di Negeri Panas
Hujah Keempat- Riwayat Ini Bukan Hadis Rasulullah S.A.W.
Hujah Kelima – Riwayat Ini Diriwayatkan Oleh Hisham Selepas Fikirannya Bercelaru
Hujah Keenam – Hanya Perawi Iraq Yang Menukilkan Riwayat Ini
Hujah Ketujuh – Aishah R.A Masih Ingat Ayat Al-Quran Yang Diturunkan Di Tahun Empat Kerasulan
Hujah Kelapan – Aishah R.A Masih Ingat Dengan Jelas Peristiwa Hijrah Abu Bakar R.A. Ke Habshah
Hujah Kesembilan – Aishah R.A. Mengelap Luka Dan Hingus Usamah Bin Zaid R.A. Yang Dikatakan Sebaya Dengannya
Hujah Kesepuluh – Ummul Mu’minin R.A. Turut Serta Di Dalam Peperangan Badar
Hujah Ke-11 – Aishah R.A. Menyertai Perang Uhud Sedangkan Kanak-Kanak Lelaki Berumur Empat Belas Tahun Tidak Dibenarkan Menyertai Perang
Hujah Ke-12 – Aishah R.A. Lebih Muda 10 Tahun Dari Kakaknya Asma, Dan Semasa Peristiwa Hijrah Asma R.A. Berumur 27 Atau 28 Tahun
Hujah Ke-13 – Ahli Sejarah At-Tabari Mengatakan Aishah R.A. Lahir Di Zaman Jahilliyah (Sebelum Kerasulan)
Hujah Ke-14 – Aishah R.A. Adalah Antara Orang-Orang Yang Terawal Memeluk Islam
Hujah Ke-15 – Abu Bakar R.A. Bercadang Mengahwinkan Aishah R.A. Sebelum Berhijrah Ke Habshah
Hujah Ke-16 – Aishah R.A. Disebut Sebagai Gadis Dan Bukan Kanak-Kanak Semasa Dicadangkan Untuk Bernikah Dengan Rasulullah
Hujah Ke-17 – Rasullulah Tidak Tinggal Bersama Aishah R.A. Kerana Masalah Mendapatkan Mahar, Bukan Kerana Umur Aishah Yang Terlalu Muda
Hujah Ke-18 – Hadis Yang Mensyaratkan Mendapat Persetujuan Seorang Gadis Sebelum Dikahwinkan Memerlukan Gadis Tersebut Telah Cukup Umur
Hujah Ke-19 – Kebolehan Luarbiasa Aishah R.A Mengingati Syair Yang Biasa Disebut Di Zaman Jahiliyah Membuktikan Beliau R.A. Lahir Di Zaman Jahiliyah
Hujah Ke-20 – Kemahiran Dalam Sastera, Ilmu Salasilah Dan Sejarah Sebelum Islam
Hujah Ke-21 – Keinginan Mendapatkan Anak Dan Naluri Keibuan Tidak Mungkin Timbul Dari Kanak-Kanak Bawah Umur
Hujah Ke-22- Aishah R.A. Sebagai Ibu Angkat Kepada Bashar R.A. Yang Berumur Tujuh Tahun Selepas Perang Uhud
Hujah Ke-23- Wujudkah Perkahwinan Gadis Bawah Umur Di Tanah Arab Dan Dalam Masyarakat Bertamadun?
Hujah Ke-24 – Kesepakatan (Ijmak) Umat Dalam Amalan
Benarkah Aisyah r.a. dinikahi oleh Rasulullah s.a.w. ketika berusia 6 tahun dan bersama baginda s.a.w ketika berusia 9 tahun?
Tokoh Hadith terkenal, Maulana Mohd Asri Yusof tidak bersetuju dengan pendapat di atas. Berikut ini adalah siri penjelasan dari beliau.
Jika anda tidak bersetuju dengan pendapat ini, tidak mengapa. Dengar dan teliti terlebih dahulu hujah-hujah yang dikemukakan.
sila cari “Umur Aisyah ketika dinikahi? Bertentangan dgn fitrah” di Youtube
3.dan ini adalah para pendapat dari ulama atau orang yang di anggap penting

bapak KH ma’aruf amin ketua fatwa MUI mengatakan “ masalah seykh puji bukan berarti masalah yang tidak penting di bandingkan dengan masalah yang sedang di bicarakan dalam agenda yaitu tentang mengupayakan rampungnya RUU pornografi”.
Hanya saja, masalah nikah di bawah umur yang terjadi ini cukup rumit. Sebab, secara hukum asal (kaidah) agama, itu di benarkan. Namun, masalah pernikahan ada hubungannya hukum yang ada. maksudnya, agama memang memperbolehkan tapi berdasarkan hukum indonesia, usia pernikahan pun dibatasi.

Bapak Ahmad Rofiq MUI jawa tengah meminta masyarakat agar tidak terpengaruh dan tidak ikut-ikutan dengan tindakan seykh puji yang menikahi anak di bawah umur.
Ahmad rofiq menjelaskan dasar menikah adalah memiliki kesiapan materi,mental,dan kejiwaan sehingga tujuan berumah tangga membangun keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang.

Bapak maftuh basyuni mentri agama, pernikahan pengasuh dan pemilik pondok pesantren miftahul jannah semarang, jawa tengah. Puji cahyo widianto 43 tahun dengan lutfiana ulfa 12 tahun. Pernikahan tersebut melanggar undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Mentri agama mengatakan, pernikahan itu tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan. “ kita orang indonesia. Orang muslim indonesia mempunyai dua tolak ukuran dalam pernikahan. Sebagai muslim ada syariahnya dan sebagai warga negara ada undang-undang perkawinan. Kalu salah satunya masih belum dilksanakan, hal itu sudah bertentangan”.ujar mentri agama
Menteri agama pernikahan seykh puji tidak melalui kantor urusan agama (KUA) setempat.

Bapak Prof. huzaimah tahido yanggo dari MUI menegaskan, MUI telah mengeluarkan fatwa agar umat islam di indonesia mematuhi ketentuan huum tentang batasan usia menikah seperti yang di atur dalam undang-undang perkawinan tahun 1974 no 1.

MUI sudah menerbitkan fatwa agar umat muslim di indonesia mematuhi UU 1974 tantang perkawinan, terutama tentang batasan usia minimal 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.

Fatwa tersebut bertujuan agar bahaya akibat pernikahan di usia dini bisa dihindari. Memang islam tidak membatasi usia orang untuk menikah, tidak ada batasan minimal bagi seseorang menikah. Tapi islam berperinsip bahwa bila sesuatu itu mengandung bahaya, maka hindarilah.

Dari berbagi pendapat tentang seykh puji di atas saya sebagi penulis berpendapat
Bahwa seykh puji tidak melanggar syariah islam tetapi seykh puji melanggar peraturan yang telah ditetepkan negara. Kita sebagai warga negara yang baik hars mematuhi aturan yang telah ditetapkan negara apalagi tangtang kasus syekh puji, beliau harap mematuhi uu no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Meskipun syeh puji ini termasuk orang terpandang di dunia islam karena ia memiliki pondok pesantren, namun belum tentu tindakannya mewakili umat islam secara keseluruhan. Jadi Tindakan Syeh Puji menikahi anak-anak tidak selayaknya ditiru oleh masyarakat karena akan membawa dampak yang sangat hebat bagi tatanan sosial nantinya.

IV.MENILIK KASUS PERNIKAHAN SYEH PUJI DARI KONDISI EKONOMI MEREKA

Nama DR HM Pujiono Cahyo Widianto atau yang biasa dikenal dengan nama Syekh Puji pertengahan tahun kemarin menjadi nama kontroversial yang santer terdengar di kalangan masyarakat karena tindakannya yang menikahi gadis dibawah umur. Entah apa yang terbesit dipikiran seorang pemuka agama terkenal di daerah Semarang itu. Tetapi yang jelas syekh yang berusia 43 tahun itu memang telah menikahi Lutfiana Ulfa, yang berusia 31 tahun lebih muda dari usianya pada tanggal 8 Agustus 2008 secara agama.

Anehnya sang gadis, Lutfiana Ulfa yang masih berusia 12 tahun itu mau saja dinikahi oleh pengusaha yang terkenal sukses dan dermawan. Banyak pertanyaan muncul ke permukaan setelah pernikahan kontroversial ini terjadi. Apakah yang sebenarnya menjadi pemicu Lutfiana Ulfa sehingga mau dinikahi oleh seorang pria yang lebih pantas menjadi ayahnya ini?

Banyak presepsi yang muncul dari pertanyaan ini. Salah satunya yang paling mencolok adalah tentang masalah ekonomi. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa Lutfiana Ulfa atau yang biasa dipanggil Ulfa mau dinikahi oleh Syekh Puji karena alasan ekonomi kedua orang tuanya yaitu pasangan Suroso dan Siti Hurairah, yang serba berkecukupan. Hal inilah yang kemudian dapat menjadi penyebab dari pernikahan dini tersebut.

Dari beberapa fakta yang ada, diketahui bahwa Syekh Puji memang seorang pengusaha yang terkenal kaya raya lagi dermawan. Syekh Puji pun rajin mengeluarkan zakat setiap tahunnya. Terakhir dikabarkan bahwa pada Ramadhan tahun 2008 kemarin ia mengeluarkan zakat hingga Rp.1,3 Milyar. Selain itu beliau juga pemilik dari Pondok Pesantren Miftahul Jannah putra-putri yang sekarang diurus oleh Ummi Hanni, istri pertamanya. Tidak hanya itu, pengusaha asal Desa Bendono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang ini pun memiliki berbagai macam koleksi mobil mewah, dari BMW hingga mobil sport seri terbaru. Jadi tidak dapat diragukan lagi bahwa Syekh Puji jelas mampu menghidupi kedua istrinya secara layak.

Apa saja akan dilakukan Syekh Puji untuk membahagiakan istrinya, termasuk dari segi materi. Ini terbukti dari diangkatnya Ulfa menjadi Jenderal Manager (GM) di salah satu perusahaannya yang bergerak dibidang pembuatan kaligrafi kuningan yang bernama PT. Sinar Ledoh Terang (PT. Silenter). Ditambah lagi perusahaan ini pun dikabarkan memiliki omset hingga Rp.110 Milyar karena wilayah jualnya yang telah di eksport ke Malaysia, Brunei, dan Arab Saudi.

Syekh Puji pun mengaku bahwa kesuksesan yang didapatkannya tersebut ia peroleh dari hasil usahanya melakukan tirakat ritual yang dilakukannya bertahun-tahun. Tirakat ritual yang ia lakukan antara lain adalah melakukan Shalawat Nariyah, doa, dan wirid yang dijalani selama beberapa bulan. Meski untuk mengamalkannya ia mengalami kesulitan dikarenakan istri pertamanya sudah tidak sanggup, sehingga ia mencari istri yang lebih muda untuk membantunya.

Hal-hal inilah yang jelas membuat masyarakat berargumen bahwa Syekh Puji menikahi gadis dibawah umur karena adanya eksploitasi ekonomi. Kehidupan ekonomi yang saling bertolak belakang diantara keduanya memang dapat dijadikan alasan kedua orang tua Ulfa atau bahkan diri Ulfa sendiri untuk menyetujui pernikahan ini.

Banyak sumber yang menyatakan bahwa kehidupan ekonomi kedua orang tua Ulfa yang telah banyak terlilit hutang ini akhirnya rela melepaskan anaknya untuk menikah dengan Syekh Puji yang kaya raya.

Pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa ini pun bukan merupakan satu-satunya pernikahan dini yang berlandaskan faktor ekonomi. Di Kecamatan Gabus Wetan , Kabupaten Indramayu misalnya, perempuan rata-rata menikah pada usia 14-15 tahun, sedangkan laki-laki berusia 17- 20 tahun. Dan untuk menutupinya tak jarang yang memalsukan usianya. Di tempat lain seperti di Desa Lenggung Barat, Kabupaten Sumenep menikahkan anak dibawah umur dengan usia 13 tahun atau tamatan SD dan laki-laki usia 15 tahun atau usia SMP adalah hal yang wajar.

Pernikahan usia muda serta pernikahan di bawah umur sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi. Banyak orang tua yang terpaksa menikahkan anak gadisnya yang masih dibawah umur demi memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga yang serba berkecukupan atau justru berharap dengan pernikahan itu dapat memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Namun ada pula yang beralaskan pada tradisi.

Apa pun alasannya. Meskipun Syekh Puji dan pengacaranya berkhilah bahwa pernikahan ini semata-mata didasarkan pada rasa cinta antara Syekh Puji dan Lutfiana Ulfa bukan karena faktor ekonomi tetapi mau tidak mau Syekh Puji harus berkaca pada kenyataan bahwa kekayaannya memang dituntut untuk menghidupi kedua istrinya, terutama istri keduanya yang masih duduk dibangku sekolah. Meski pun Ulfa untuk sementara ini tidak tinggal bersama Syekh Puji lagi karena telah dipulangkan pada tanggal 9 November 2008 silam.

Syekh Puji pun dinilai menikahi gadis dibawah umur dengan mengandalkan harta kekaaannya ang berlimpah. Padahal jika ingin menolong pun tidak harus dengan menikahi gadis dibawah umur tersebut.

Karena perbuatannya ini Syekh Puji pun terancam 3 lapis pelanggaran hukum. Dua diantaranya adalah tentang pelanggaran perlindungan anak dan tindak pidana perdagangan orang.

Dari beberapa fakta diatas dapat diketahui bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling sulit diatasi dalam masa yang kian sulit belakangan ini. Banyak orang yang , menghalalkan segala cara untuk menunjang kehidupan ekonomi mereka agar menjadi lebih baik. Dari sekian banyak tindak kriminal yang kejam dari membunuh hingga merampok mungkin bagi beberapa orang tua yang memiliki anak gadis, menikahkan anak gadisnya adalah salah satu cara yang paling aman tanpa harus melukai orang lain.

Namun mungkin para orang tua itu tidak menyadari bahwa secara tidak langsung mereka telah menyakiti psikologis yang ada dalam diri si anak yang belum waktunya menerima kehidupan rumah tangga dan percintaan seperti yang akan mereka hadapi setelah menikah. Bahkan dalam kasus Syek Puji sang anak di tuntut untuk memimpin sebuah perusahaan. Hal ini jelas telah melanggar hukum dengan tindak pidana telah mempekerjakan anak dibawah umur.

Kekayaan memang bisa menghalalkan segala cara bahkan membeli cinta sekalipun. Padahal cinta mungkin belum bisa diserap oleh anak seusia Ulfa. Kekuasaan dan otoritas yang dimiliki Syekh Puji dapat menjadi pendorong bagi Ulfa dan kedua orangtuanya yang takut akan ancaman lain yang mungkin akan lebih parah dari yang tengah mereka hadapi ini.

Karakter Syekh Puji yang cenderung selalu ingin berkuasa dan menghalalkan segala cara dengan hartanya membuatnya dapat membeli apapun yang ia inginkan. Sedangkan karakter kedua orang tua Ulfa yang memiliki rasa takut dan segan dengan Syekh Puji karena merasa telah memiliki hutang baik lahir maupun batin tidak dapat berbuat dan berkata apa-apa walau dalam hati mereka pun pasti tidak sampai hati ingin menyiksa anaknya yang seharusnya masih menikmati masa anak-anaknya dengan temamn-temanya untuk bermain dan belajar.

Dari segi Ulfa sendiri yang mungkin menyadari bahwa kedua orang tuanya bertumpu kepadanya dengan alasan ekonomi terkesan terlihat seperti boneka yang bersedia diatur apa saja oleh suaminya terutama dalam hal berbicara di depan media demi menjaga citra Syekh Puji di depan masyarakat. Padahal bukan tidak mungkin Ulfa tengah mengalami kegalauan dan kebingungan tentang apa yang dihadapinya yang belum bisa ia terima berdasarkan perkembangan usianya.

Dari beberapa fakta diatas dapat disimpulkan bahwa ekonomi dan kekayaan memang dapat membeli dan menghalalkan segalanya. Apalagi di zaman yang serba sulit sekarang ini, pasti abnyak orang memilih jalan pintas demi menyelamatkan keluarganya dari kekurangan dan kelaparan atau bahkan untuk menebus hutang yang telah menumpuk.

Perkembangan zaman yang kian sulit tanpa disadari juga mengembangkan tindakan-tindakan tidak sewajarnya yang melanggar agama dan hukum. Kesalahan presepsi tentang tradisi dan agama yang mengizinkan pernkahan anak dibawah umur ini pun turut dijadikan alasan yang sebenarnya mereka hanya mendengar dan mengikuti tanpa melihat atau mencari bukti yang nyata akan benar atau tidaknya tradisi atau sejarah agama tersebut.


V.PENGARUH KELUARGA ULFA TERHADAP KEPRIBADIANNYA

Para tetangga mengenal Ulfah sebagai gadis berkulit bersih yang cantik. Setiap sore dia mengikuti kegiatan di Taman Pendidikan Alquran (TPQ) dilanjutkan salat Magrib di Masjid Mujahidin yang hanya beberapa puluh meter dari tempat tinggalnya. Kalau tetap melanjutkan sekolah, tahun ini mestinya Ulfa duduk di kelas 1 SMP. Alih-alih sekolah, pada awal Agustus lalu, Ulfa malah mendapat pinangan dari Syeh Puji yang usianya delapan tahun lebih tua dibanding ayahnya (Suroso).

Ratih, teman sebaya Ulfa, adalah salah seorang yang mengaku “kehilangan” setelah Ulfa menikah. ”Hubungan (Ulfa) dengan teman-teman lainnya baik, Pak. Dia itu anaknya pintar dan tidak sombong. Kami sering nggarap PR bersama-sama di rumahnya,” katanya.
Seorang tetangga dekat Suroso yang tak mau disebut nama mengenal gadis yang sedang menanjak remaja itu suka mengoleksi kertas binder dan saling bertukar dengan teman-temannya. ”Dia sopan dan alim, serta patuh kepada kedua orang tua. Dia jarang dimarahi oleh orang tuanya karena patuhnya itu,” tambahnya.

Tentang jarangnya Suroso pulang ke rumah itu juga diakui tetangga tersebut. Suroso yang karyawan pabrik kertas PT Puri Nusa -berlokasi di Bawen (jurusan Semarang-Solo)- sering ganti jadwal piket masuk (sif) kerja. Selain itu, dia sering mengunjungi Ulfa di kediaman Syeh Puji di Desa Bedono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. ”Kadang-kadang ke sini, Mas. Nggak mesti kadang malam atau pagi, setelah itu pergi lagi,” tambahnya.

Menurut tetangganya itu, beberapa hari sebelum dinikahi Syeh Puji, Ulfa yang baru lulus dari SDN Randu Gunting tampak gembira dan ceria. Dia sering bercerita kepada teman-teman serta tetangganya, kalau sebentar lagi dinikahkan orang tuanya. ”Tampaknya dia menerima dengan ikhlas dan menikmati pinangan serta menikah dengan Pak Pujiono. Mesti secara usia cukup jauh,” katanya.
Suroso yang ditemui pada acara halalbihalal di Ponpes Miftahul Jannah yang didirikan Syeh Puji mengakui, dia sekeluarga sudah ikhlas putri sulungnya dinikahi Syeh Puji. Buktinya, lanjut dia, putrinya memberi anggukan setuju ketika tim Syeh Puji datang ke rumah untuk meminang pada 5 Agustus lalu.
”Sebagai orang tua tentu saya melindungi anak. Tidak ada pemaksaan dalam bentuk apa pun. Ulfa juga tidak merasa ditekan oleh siapa pun,” tambahnya. Menurut Suroso, ada beberapa pertimbangan mengapa Ulfa bersedia menikah pada usia belia. Di antaranya akan dipercaya memimpin PT Sinar Lendoh Terang (Silenter), perusahaan milik Syeh Puji. Selain itu, Ulfa masih bisa sekolah meski dengan cara mendatangkan guru.

Dia menolak anggapan keluarganya membiarkan Ulfa menjadi istri kedua dari orang yang layak jadi orang tuanya demi keuntungan materi. ”Saya masih kuat bekerja dan bisa menghidupi anak istri. Tapi, melihat tujuan Syeh Puji baik, saya, istri, dan anak saya setuju dan ikhlas dengan pernikahan ini. Anak saya juga ingin membahagiakan orang tuanya kok,” tambahnya.

Suroso mengatakan, dirinya dan istri sudah tahu bahwa Syeh Puji banyak uang. Namun, bukan itu satu-satunya tujuan. ”Tujuan anak saya itu bahagia dunia dan akhirat. Kalau ada orang kaya yang menikahi anak saya, tapi tujuannya tidak jelas, tentu kami tidak bersedia,” imbuhnya.
Meski sudah menikah, kata Suroso, Ulfa yang mengalami menstruasi sejak berusia 10 tahun direncanakan (tidak hamil) dan baru memiliki anak di atas usia 17 tahun. Sesuai janji Syeh Puji untuk mengangkat Ulfa jadi general manager (GM), “program” paling dekat yang akan dijalani Ulfa saat ini pengaderan untuk mengelola PT Silenter.

Sang ayah mengakui, Ulfa yang di sekolahnya selalu berada di peringkat teratas itu sudah menunjukkan kelebihan sejak berusia lima tahun. Sekecil itu, kata Santoso, Ulfa sudah berjanji memberangkatkan kedua orang tuanya naik haji. “Saat itu kami diminta tidak usah khawatir tentang biaya. Sebab, atas izin Allah, semuanya akan terlaksana dan terwujud,” katanya.

Suroso mengakui, sebelum datang pinangan Syeh Puji ke rumahnya, Ulfa seperti mendapat tanda-tanda. Salah satunya, sang gadis menemukan sarang madu di seputar kamar mandinya. Kejadian itu lalu dilaporkan kepada ayahnya. “Waktu itu saya minta agar sarang-sarang madu itu dibiarkan. Jangan diganggu atau dirusak,” katanya.





VI.PEMBAHASAN SECARA MEDIS MENGENAI PERNIKAHAN BOCAH YANG MASIH BERUMUR 12 TAHUN

Dokter spesialis obstetri dan ginekologi dr Deradjat Mucharram Sastrawikarta Sp.Og mengatakan, pernikahan pada anak perempuan berusia 9-12 tahun sangat tidak lazim dan tidak pada tempatnya. “Apa alasannya ia menikah? Sebaiknya jangan dulu berhubungan seks hingga anak itu matang fisik ataupun psikologis,” ujarnya saat dihubungi semalam. Menurutnya, pernikahan itu menyalahi peraturan pemerintah yang mewajibkan usia minimal 16 tahun untuk menikah.
Dokter yang berpraktik di klinik spesialis Tribrata Polri ini menjelaskan, kematangan fisik seorang anak tidak sama dengan kematangan psikologinya sehingga meskipun anak tersebut memiliki badan bongsor dan sudah menstruasi, secara mental ia belum siap untuk berhubungan seks. “Apakah anak seusia itu sudah mengerti tentang hubungan seks, kalau belum, itu bisa saja dikatakan ‘menggagahi’ karena bukan atas dasar suka sama suka,” tandasnya.
Ia menambahkan, kehamilan bisa saja terjadi pada anak usia 12 tahun. Namun, psikologinya belum siap untuk mengandung dan melahirkan. Jika dilihat dari tinggi badan, wanita yang memiliki tinggi dibawah 150 cm kemungkinan akan berpengaruh pada bayi yang dikandungnya. Posisi bayi tidak akan lurus di dalam perut ibunya. Sel telur yang dimiliki anak juga diperkirakan belum matang dan belum berkualitas sehingga bisa terjadi kelainan kromosom pada bayi.
Dalam mengahadapi persalinan, kematangan psikis juga sangat berpengaruh. Di kota-kota besar, bisa saja dilakukan operasi melahirkan. Namun, persalinan normal bagi anak yang belum dewasa juga cukup beresiko.
Jika hubungan seks dilakukan pada saat anak tersebut belum menstruasi, bisa mengakibatkan robek berat pada bagian keintimannya dan bisa mengganggu sistem reproduksinya kelak jika terjadi infeksi.
Sementara itu, Warta Kota menerima telepon dari orang yang mengaku adik kelas Syekh Puji sewaktu SMP di Semarang. Orang yang meminta namanya tidak disebutkan ini mengatakan, Syekh Puji memiliki sifat doyan perempuan. “Yang saya tahu sebelum ini dia sudah memiliki banyak istri,” katanya.
Sebelum menjadi miliarder, Syekh Puji pernah menjadi karyawan perusahaan kaset di Jakarta. Setelah berhenti bekerja, Syekh Puji membuka usaha kaligrafi kuningan. “Omzetnya Rp 150 miliar setahun,” katanya.
Sistem penjualan yang dilakukan Syekh Puji menggunakan direct selling. Dia merekrut pengangguran untuk menjadi tenaga penjual yang dikirim ke berbagai daerah. Usahanya berhasil karena omzet penjualannya terus meningkat.
“Namun, ada cacatnya, karena sistemnya bagi hasil, orang yang dikirim ke berbagai daerah penghasilannya tergantung dari hasil penjualan. Kalau dagangannya tidak laku, orang itu tak akan punya uang,” katanya.

VII.PENGARUH KASUS PERNIKAHAN SYEH PUJI TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT LUAS

Pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa, gadis berusia 12 tahun

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan bertambahnya isu yang beredar di media, baik Koran hingga berita di berbagai stasiun televisi, khususnya program acara berita, yang beberapa kali bahkan sering menampilkan berita kasus pernikahan seorang Syekh dari Solo yang bernama Syekh Puji yang menikah dengan Ulfa, seorang gadis usia 12 tahun. Betapa terkejutnya berbagai kalangan di seantero negeri yang menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat tentang fenomena sosial tersebut. Berbagai pro kontra tersebut muncul ke permukaan dari berbagi sudut pandang masyarakat, entah itu dari sudut pandang agama, kesehatan, sosial, budaya, hukum perundang-undangan hingga sudut pandang lainnya, bahkan rasa iba pun turut mewarnai berbagai pendapat masyarakat.

Sebelum Syekh Puji menikahi Ulfa, ia terlebih dahulu telah memiliki dua orang istri, dan menurut ia, seorang muslim wajar saja jika berpoligami. Dalam ajaran yang dianutnya tersebut pun ia yakin bahwa menikahi seorang gadis usia 12 tahun pun tidak menjadi masalah, karena tidak adanya larangan dari agama dan kitab sucinya. Bahkan ia pun masih berencana untuk berpoligami, menikahi gadis lainnya yang usianya mungkin akan lebih muda dari Ulfa, sekitar 7 tahun. Syekh Puji adalah seorang pengusaha kerajinan kuningan yang kaya raya (seorang miliarder) dan juga memiliki pondok pesantren serta termasuk orang terpandang di daerahnya. Ia dikenal seorang yang dermawan yang sering bersedekah kepada orang –orang kurang mampu, bahkan pernah bersedekah Rp. 1 Miliar. Banyak kalangan yang mendukung tindakan Syekh Puji ini, terutama dari kalangan Syekh lainnya, beberapa Ulama dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, bahkan seorang yang berpoligami hingga sepuluh orang istri pun turut mendukung.

KASUS Syekh Puji mengawini Ulfa, anak di bawah umur, mengundang polemik di masyarakat. Dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, telah ditentukan batasan usia perkawinan. Namun, banyak alasan yang menjadi pembenaran dari sudut hukum adat dan hukum agama. Sejauh mana hukum itu berlaku di masyarakat?

Pada dasarnya seperti yang kita ketahui, bahwa setiap peristiwa yang terjadi di tanah air ini pastilah akan menimbulkan dampak positif ataupun negatif. Mugkin pada dasarnya Syekh Puji kekeh akan kebenaran tindakan yang telah di perbuatnya, dan Syekh Phuji pun memiliki argument yang di jadikan landasan untuk membenarkan apa yang telah di perbuat.

Pernikahan ini di khawatirkan akan menimbulkan dampak yang negatif bagi kehidupan masyarakat itu sendiri, mengingat bahwa Syeh Phuji adalah sosok seorang figur yang memiliki peranan penting ditempat dia tinggal, hal tersebut dapat di jadikan sebuah inspirasi bagi masyarakat sekitar untuk melahirkan masalah – masalah baru yang diakibatkan karena masalah tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga, peraktek perdagangan anak juga bisa timbul kerana kasus ini.

Ketidakadilan bagi Perempuan

Kasus Syekh Puji dengan Ulfa dari aspek hukum melanggar UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Menurut UU ini, batas umur kawin perempuan, 16 tahun. Dalam UU Perlindungan Anak, batas ketentuan dewasa adalah 18 tahun. UU Perkawinan batasan umurnya di bawah UU Perlidungan Anak. Jika masih di bawah umur, anak tidak bisa melakukan perbuatan hukum termasuk perkawinan. Dilihat dari KUHP, jika diketahui usia di bawah umur, dapat dikenakan ancaman pasal 288 ayat 1, tapi ini baru delik aduan, harus ada laporan lebih dahulu. Dari aspek gender, perkawinan di bawah umur, bentuk ketidakadilan bagi perempuan dan anak. Budaya patriarki di masyarakat kental sekali, merupakan suatu sistem yang menempatkan perempuan di bawah ordinasi. Anak perempuan dianggap di bawah kekuasaan orangtua dan orangtua bisa berlaku seenaknya.

Budaya Jodohkan Anak

Kasusnya Syekh Puji menarik karena di sana ada proses perekrutan, pemfilteran dan keputusan Syekh Puji memilih Ulfa, yang ujung-ujungnya kena dampak hukum. Hukum perlu membatasi umur perkawinan. Usia 10-12 tahun belum dapat menggunakan akal sehat dengan baik dan bertanggung jawab. UU sudah ada. Karena ketidaktahuan atau kurang pemahaman, terjadi pernikahan dini. Yang terjadi di masyarakat mungkin juga faktor sosiologi dan budaya menjodohkan anaknya. Yang harus ditangkap adalah calo-calo perjodohan itu. Kemungkinan juga Ulfa tertarik dengan Syekh Puji karena faktor ekonomi. Sementara Syekh Puji melihat Ulfa, cantik, pintar dan muda masih bisa dibimbing. Namun mengapa Syekh Puji sebagai orang yang berkecimpung di agama, mau mengambil perempuan di bawah umur.
VIII.TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP KASUS INI

Nama Syekh Puji saat ini sedang menjadi buah bibir orang banyak. Tindakannya menikahi seorang wanita berumur 12 tahun yang bernama Lutviana Ulfa melejitkan popularitasnya. Setiap pagi, di acara berita pagi di berbagai stasiun televisi selalu saja muncul sosoknya yang nyentrik.

Kasus Syekh Puji kali ini benar-benar jarang terjadi dan mungkin yang pertama kali di Indonesia. Syekh Puji layak mendapat penghargaan dari museum rekor Indonesia. Melihat situasi ini, berbagai pihak mulai bereaksi. Mulai dari Komnasham, Lembaga Keagamaan sampai ke Kek Seto yang mewakili Komisi Perlindungan Anak. Reaksi kesemuanya berbeda. Namun tetap satu tujuan yakni tidak setuju dengan apa yang dilakukan Syekh Puji. Jika ada suatu kasus, pastilah akan muncul dua belah kubu yang berbeda yakni kubu yang pro dan yang kontra.

Kubu yang kontra begitu mendominasi di layar kaca. Banyak alasan berhamburan dari kubu ini. Dari hamburan alasan itu kesimpulannya kurang lebih seperti ini: terganggunya mental Ulfa (yang dinikahi Syekh Puji) kemudian pernikahan Syekh Puji itu melanggar aturan pernikahan yang berlaku di Indonesia.

Kita sampingkan terlebih dahulu tanggapan-tanggapan negatif itu. Tidak ada salahnya kita coba melihat kejadian ini dari sisi positifnya. Memandang sisi positif itu bukan berarti memihak jadi untuk Syekh Puji jangan ge-er terlebih dahulu. Mari kita mulai pembahasan ini.
Lutviana Ulfa sudah berumur 12 tahun. Secara teori dia sudah masuk masa akil balig. Pada usia itu Ulfa sudah mulai mengenal yang baik dan yang buruk untuk dirinya dan orang tuanya. Mungkin saat ini Ulfa mengalami tekanan batin yang dalam. Tetapi dia tetap diam, karena dia memiliki sebuah alasan agar dia tetap melanjutkan jalan yang telah dia pilih. She was fine… Don’t think negatively with that…

Sebenarnya ada hal penting lain yang tidak terpikirkan dibalik kasus Syekh Puji ini. Yakni beruntungnya Ulfa bisa menikah pada usia itu. Kenapa? Dengan pernikahan yang sah secara agama itu Ulfa terhindar dari zinah yang lagi digandrungi kaum muda saat ini. Dia tidak akan mengalami tindakan-tindakan HARAM dari laki-laki yang tidak halal baginya. Bahkan Ulfa bisa menjadi lebih mulia daripada wanita lain yang lebih tua darinya yang sering dipegang-pegang tangannya, dipeluk tubuhnya, dicium bibirnya, bahkan dirusak kehormatannya oleh laki-laki yang dianggap sebagai pacar (bukan suami) yang jelas-jelas HARAM baginya. Kok aktivitas-aktivitas yang jelas-jelas haram tidak pernah dibahas secara serius? Kemana Komnasham, Lembaga Agama, ataupun Kek Seto ketika itu sedang “tren”? Apakah karena aktivitas-aktivitas itu sudah biasa? Sedangkan penikahan yang halal secara agama malah dibahas habis-habisan. Apakah karena itu tidak biasa? Aneh. Ternyata di Indonesia, baik dan buruk itu tidak berlaku. Yang berlaku adalah biasa dan tidak biasa.

Daripada menyalah-menyalahkan tindakan Syekh Puji, kenapa tidak kita sedikit perbaharui saja syarat menikahnya. Menikah di Indonesia itu ribet dan mahal. Melihat dua hal ini, pantas saja orang lebih suka mengambil jalan zinah daripada menikah. Dosa lho kalau menyusahkan jalan orang yang mau menikah. Hehehe… Dan itu PR untuk para pejabat yang terkait.
Asal niat Syekh Puji menikahi Ulfa itu baik, kita permudah jalannya. Toh istrinya juga mengijinkan. Kalaupun ada niat jahat, biarlah itu menjadi urusannya dengan Allah SWT Yang Maha Tahu. Nikah itu suatu ibadah yang mulia. Hanya orang yang berhati mulia yang akan memberikan jalan kemudahan untuk orang lain yang akan melaksanakan ibadah mulia itu.

Nama Syekh Puji saat ini sedang menjadi buah bibir orang banyak. Tindakannya menikahi seorang wanita berumur 12 tahun yang bernama Lutviana Ulfa melejitkan popularitasnya. Setiap pagi, di acara berita pagi di berbagai stasiun televisi selalu saja muncul sosoknya yang nyentrik.
Kasus Syekh Puji kali ini benar-benar jarang terjadi dan mungkin yang pertama kali di Indonesia. Syekh Puji layak mendapat penghargaan dari museum rekor Indonesia. Melihat situasi ini, berbagai pihak mulai bereaksi. Mulai dari Komnasham, Lembaga Keagamaan sampai ke Kek Seto yang mewakili Komisi Perlindungan Anak. Reaksi kesemuanya berbeda. Namun tetap satu tujuan yakni tidak setuju dengan apa yang dilakukan Syekh Puji. Jika ada suatu kasus, pastilah akan muncul dua belah kubu yang berbeda yakni kubu yang pro dan yang kontra.

Kubu yang kontra begitu mendominasi di layar kaca. Banyak alasan berhamburan dari kubu ini. Dari hamburan alasan itu kesimpulannya kurang lebih seperti ini: terganggunya mental Ulfa (yang dinikahi Syekh Puji) kemudian pernikahan Syekh Puji itu melanggar aturan pernikahan yang berlaku di Indonesia.

Kita sampingkan terlebih dahulu tanggapan-tanggapan negatif itu. Tidak ada salahnya kita coba melihat kejadian ini dari sisi positifnya. Memandang sisi positif itu bukan berarti memihak jadi untuk Syekh Puji jangan ge-er terlebih dahulu. Mari kita mulai pembahasan ini.

Lutviana Ulfa sudah berumur 12 tahun. Secara teori dia sudah masuk masa akil balig. Pada usia itu Ulfa sudah mulai mengenal yang baik dan yang buruk untuk dirinya dan orang tuanya. Mungkin saat ini Ulfa mengalami tekanan batin yang dalam. Tetapi dia tetap diam, karena dia memiliki sebuah alasan agar dia tetap melanjutkan jalan yang telah dia pilih. She was fine… Don’t think negatively with that…

Sebenarnya ada hal penting lain yang tidak terpikirkan dibalik kasus Syekh Puji ini. Yakni beruntungnya Ulfa bisa menikah pada usia itu. Kenapa? Dengan pernikahan yang sah secara agama itu Ulfa terhindar dari zinah yang lagi digandrungi kaum muda saat ini. Dia tidak akan mengalami tindakan-tindakan HARAM dari laki-laki yang tidak halal baginya. Bahkan Ulfa bisa menjadi lebih mulia daripada wanita lain yang lebih tua darinya yang sering dipegang-pegang tangannya, dipeluk tubuhnya, dicium bibirnya, bahkan dirusak kehormatannya oleh laki-laki yang dianggap sebagai pacar (bukan suami) yang jelas-jelas HARAM baginya. Kok aktivitas-aktivitas yang jelas-jelas haram tidak pernah dibahas secara serius? Kemana Komnasham, Lembaga Agama, ataupun Kek Seto ketika itu sedang “tren”? Apakah karena aktivitas-aktivitas itu sudah biasa? Sedangkan penikahan yang halal secara agama malah dibahas habis-habisan. Apakah karena itu tidak biasa? Aneh. Ternyata di Indonesia, baik dan buruk itu tidak berlaku. Yang berlaku adalah biasa dan tidak biasa.

Daripada menyalah-menyalahkan tindakan Syekh Puji, kenapa tidak kita sedikit perbaharui saja syarat menikahnya. Menikah di Indonesia itu ribet dan mahal. Melihat dua hal ini, pantas saja orang lebih suka mengambil jalan zinah daripada menikah. Dosa lho kalau menyusahkan jalan orang yang mau menikah. Hehehe… Dan itu PR untuk para pejabat yang terkait.

Asal niat Syekh Puji menikahi Ulfa itu baik, kita permudah jalannya. Toh istrinya juga mengijinkan. Kalaupun ada niat jahat, biarlah itu menjadi urusannya dengan Allah SWT Yang Maha Tahu. Nikah itu suatu ibadah yang mulia. Hanya orang yang berhati mulia yang akan memberikan jalan kemudahan untuk orang lain yang akan melaksanakan ibadah mulia itu.

Ini kisah ku, tentang seorang wanita kecil yang telah pergi. Senyum yang mekar indah di wajah putihnya sungguh lucu. Membuat otakku mengukir setiap senyum indahnya di ingatanku. Begitu jelas dan nyata. Tiap malam yang aku lalui selalu ada dirinya. Anganku penuh dengan dirinya. Dalam fantasiku, aku lihat dia, tersenyum sehingga membuat aku bersemangat kembali. Senyum itu melancarkan nadiku yang tersumbat kerikil-kerikil sepi, membuka mataku yang terbebani kegagalan-kegalan ku. Wanita kecilku yang tersenyum, tetaplah tersenyum meski dalam alam mimpiku.Ini kisah ku, tentang seorang wanita kecil yang telah pergi. Senyum yang mekar indah di wajah putihnya sungguh lucu. Membuat otakku mengukir setiap senyum indahnya di ingatanku. Begitu jelas dan nyata. Tiap malam yang aku lalui selalu ada dirinya. Anganku penuh dengan dirinya. Dalam fantasiku, aku lihat dia, tersenyum sehingga membuat aku bersemangat kembali. Senyum itu melancarkan nadiku yang tersumbat kerikil-kerikil sepi, membuka mataku yang terbebani kegagalan-kegalan ku. Wanita kecilku yang tersenyum, tetaplah tersenyum meski dalam alam mimpiku.
from: http://ega91.blogspot.com
KPAI Minta Lutviana Ulfa Divisum Keperawanannya
Minggu, 16 November 2008 00:00

SEMARANG—Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sabtu (15/11) kemarin kembali mendatangi Polwiltabes Semarang dan Polda Jateng.
Mereka mendesak aparat kepolisian serius menangani kasus nikah bawah umur yang dilakukan miliader asal Kabupaten Semarang, H. Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji dengan bocah 12 tahun, Lutviana Ulfa.
Sehari sebelumnya, sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga melakukan hal sama. Mereka terdiri atas aktivis JPY (Jejaring Perempuan Yogyakarta), KJHAM (Kajian Jender dan Hak Asasi Manusia), dan KPPA (Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak).
Ketua KPAI Masnah Sari SH datang bersama timnya. Mereka menyerahkan surat berisi laporan dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Syeh Puji terhadap Ulfa. Surat tersebut diterima oleh perwira jaga Ditreskrim Polda, AKP Khundhori.
Masnah Sari mengatakan, KPAI sebagai lembaga negara yang sah meminta Polda mencari kebenaran material dalam proses penyidikan. Polisi juga diminta melakukan pemeriksaan medis terhadap Ulfa atas keperawanannya. Ini, tegas Masnah, untuk memenuhi unsur pasal 81 (2) ketentuan pidana dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Dan terhadap Syeh Puji juga perlu dilakukan pemeriksaan medis dan psikologis oleh ahli jiwa untuk memeriksa adanya kemungkinan yang bersangkutan menderita phaedofilia,” tuntut Masnah didampingi Sekretaris KPAI, Supeno.
Tak hanya itu. KPAI juga meminta penyidik memeriksa orangtua Ulfa. Sebab dimungkinkan menerima dana atau ada perjanjian tertentu dengan Syeh Puji. Hal ini untuk mencari adanya dugaan unsur human trafficking (perdagangan manusia).
”Meski dalam perkembangan kasus ini Ulfa telah dikembalikan kepada orangtuanya, bukan berarti persoalan hukum yang menyangkut Saudara Pujiono (Syeh Puji) telah selesai. Dia (Syeh Puji) harus tetap mempertanggungjawabkan secara hukum. Sebab yang dilakukannya sudah melanggar undang-undang.”
Menurut Masnah Sari, untuk menikah, warga negara Indonesia harus patuh pada hukum positif Indonesia. Yaitu UU No 1 tahun 1974. “Dalam kasus ini, kemungkinan ada tersangka lain selain Sdr Pujiono cukup besar.”
Sebab, lanjut Masnah, dimungkinkan orangtuanya atau orang-orang yang ikut membantu terjadinya perkawinan Puji-Ylfa. Puji juga dinilai melanggar UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bab IV pasal 81 ayat 2. (zal/isk)

tanggapan dari komnas perlindungan anak

UNGARAN - Pemerhati anak Seto Mulyadi bergerak cepat untuk memediatori penyerahan kembali Lutviana Ulfa, 12, kepada orang tuanya. Kemarin ketua Komnas Perlindungan Anak itu kembali mengunjungi gadis korban perkawinan di bawah umur itu di Ponpes Miftahul Jannah, Bedono, Kabupaten Semarang.

Setelah pertemuan di rumah suami Ulfa, Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, petang hari kemarin, Seto Mulyadi mengaku sedang mencari formula terbaik untuk penyerahan kembali bocah itu kepada orang tuanya, Suroso.

Meski saat ini Ulfa masih menetap di Ponpes Miftahul Jannah milik Syeh Puji, Kak Seto -panggilan akrab Seto Mulyadi- menjamin penyerahan dan pembatalan pernikahan Syeh Puji-Ulfa segera terwujud.

"Hal itu sudah menjadi kesepakatan kami dengan Syeh Puji-Ulfa dan Pak Gogok (Sedyo Prayugo, penasihat keluarga, Red) di pertemuan tadi," katanya.

Saat ditanya tentang masa depan Ulfa setelah diserahkan Syeh Puji kepada orang tuanya, Kak Seto mengatakan bahwa Komnas Perlindungan Anak tetap akan memperhatikan, mulai soal pendidikan hingga kesehatan jiwanya.

"Bahkan, saat menjalani proses hukum nanti, kami akan memberikan pendampingan. Urusan Ulfa adalah tanggung jawab kami," kata Kak Seto

Kak Seto mengharapkan kesimpangsiuran berita tentang kesediaan Syeh Puji mengembalikan Ulfa segera diakhiri. Sebab, kata dia, Syeh Puji sudah menyetuji 100 persen. Hal itu juga ditunjukkan dengan anggukan tanda setuju oleh bos PT Sinar Lendoh Terang itu kepada wartawan yang mengerumi kemarin.

Saudara kembar dr Kresno Mulyadi itu juga menyampaikan perasaan Ulfa yang disampaikan lewat dirinya. Yakni, gadis itu mengharapkan semua pihak untuk tidak terlalu mengadilinya. Ulfa sehat walafiat, jasmani dan rohani. "Namun, dengan adanya pemberitaan yang gencar atas dirinya dengan Syeh Puji beberapa waktu lalu, dia merasa terganggu."

Ulfa, kata Kak Seto, cukup sehat dan bahagia. Namun, secara jujur dia mengaku tertekan dengan gencarnya pemberitaan mengenai pernikahannya yang kontroversial itu.

Sedyo Prayugo, penasihat hukum yang juga juru bicara keluarga Syeh Puji, menjamin apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama akan saling dihormati. Termasuk oleh Syeh Puji.

"Mengingat ini adalah nikah siri atau di bawah tangan, pembatalannya bagaimana, itu masih perlu dirembuk lagi. Formulanya tidak boleh merugikan kedua pihak," tambahnya.

Rencana pemeriksaan polisi terhadap Ulfa serta Suroso dan Siti Huriah (ayah dan ibunya) kemarin (31/10) berlangsung kucing-kucingan dengan pemburu berita. Dalam surat panggilan disebutkan bahwa pemeriksaan terhadap mereka dilakukan sekitar pukul 10.00 di ruang Reskrim Polwiltabes Semarang. Tapi, hingga pukul 10.00, tidak ada tanda-tanda pemeriksaan berlangsung.

Namun tiba-tiba, ada informasi lain bahwa pemeriksaan berlangsung di Polsek Ambarawa. Sebab, lokasi antara rumah Ulfa dan tempat tinggal Syeh Puji tidak terlalu jauh dengan Polsek Ambarawa. Namun, belakangan ada kabar pindah lagi ke Polres Semarang yang lokasinya di tengah Kota Ungaran. Namun, itu pun tidak terwujud.

Menjelang pukul 11.00, ada kabar bahwa pemeriksaan dilakukan di kawasan objek wisata Bandungan. Tepatnya, di salah satu hotel melati. Namun, hingga berita ini ditulis, tidak ada kepastian, apakah rencana pemeriksaan itu jadi dilakukan atau tidak.

Keluarga Suroso kemarin juga mempertanyakan kelanjutan penyerahan Ulfa bila perkawinan yang penuh kontroversi itu dibatalkan. "Apakah Ulfa kembali dalam keadaan utuh. Artinya, dia bisa ceria seperti sedia kala. Tidak hanya diserahkan begitu saja, harus dipikirkan masa depannya," kata kakek tiri Ulfa, Rafi'i, kepada wartawan kemarin.

Rafi'i menegaskan, dirinya sekeluarga tidak rela kalau nasib Ulfa yang terpaksa melepas statusnya sebagai siswa kelas II SMP Negeri 1 Bawen itu tidak jelas pasca penyerahan kembali kepada orang tuanya. "Anak itu sedang menderita dengan adanya peristiwa ini. Dia bingung dan menanggung malu," tambahnya. (dm/el)

IX.PERKEMBANGAN TERAKHIR KASUS PERNIKAHAN SYEH PUJI

Minggu, 02 November 2008 00:00

UNGARAN - Pemerhati anak Seto Mulyadi bergerak cepat untuk memediatori penyerahan kembali Lutviana Ulfa, 12, kepada orang tuanya. Kemarin ketua Komnas Perlindungan Anak itu kembali mengunjungi gadis korban perkawinan di bawah umur itu di Ponpes Miftahul Jannah, Bedono, Kabupaten Semarang.
Setelah pertemuan di rumah suami Ulfa, Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, petang hari kemarin, Seto Mulyadi mengaku sedang mencari formula terbaik untuk penyerahan kembali bocah itu kepada orang tuanya, Suroso.
Meski saat ini Ulfa masih menetap di Ponpes Miftahul Jannah milik Syeh Puji, Kak Seto -panggilan akrab Seto Mulyadi- menjamin penyerahan dan pembatalan pernikahan Syeh Puji-Ulfa segera terwujud.
"Hal itu sudah menjadi kesepakatan kami dengan Syeh Puji-Ulfa dan Pak Gogok (Sedyo Prayugo, penasihat keluarga, Red) di pertemuan tadi," katanya.
Saat ditanya tentang masa depan Ulfa setelah diserahkan Syeh Puji kepada orang tuanya, Kak Seto mengatakan bahwa Komnas Perlindungan Anak tetap akan memperhatikan, mulai soal pendidikan hingga kesehatan jiwanya.
"Bahkan, saat menjalani proses hukum nanti, kami akan memberikan pendampingan. Urusan Ulfa adalah tanggung jawab kami," kata Kak Seto
Kak Seto mengharapkan kesimpangsiuran berita tentang kesediaan Syeh Puji mengembalikan Ulfa segera diakhiri. Sebab, kata dia, Syeh Puji sudah menyetuji 100 persen. Hal itu juga ditunjukkan dengan anggukan tanda setuju oleh bos PT Sinar Lendoh Terang itu kepada wartawan yang mengerumi kemarin.
Saudara kembar dr Kresno Mulyadi itu juga menyampaikan perasaan Ulfa yang disampaikan lewat dirinya. Yakni, gadis itu mengharapkan semua pihak untuk tidak terlalu mengadilinya. Ulfa sehat walafiat, jasmani dan rohani. "Namun, dengan adanya pemberitaan yang gencar atas dirinya dengan Syeh Puji beberapa waktu lalu, dia merasa terganggu."
Ulfa, kata Kak Seto, cukup sehat dan bahagia. Namun, secara jujur dia mengaku tertekan dengan gencarnya pemberitaan mengenai pernikahannya yang kontroversial itu.
Sedyo Prayugo, penasihat hukum yang juga juru bicara keluarga Syeh Puji, menjamin apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama akan saling dihormati. Termasuk oleh Syeh Puji.
"Mengingat ini adalah nikah siri atau di bawah tangan, pembatalannya bagaimana, itu masih perlu dirembuk lagi. Formulanya tidak boleh merugikan kedua pihak," tambahnya.
Rencana pemeriksaan polisi terhadap Ulfa serta Suroso dan Siti Huriah (ayah dan ibunya) kemarin (31/10) berlangsung kucing-kucingan dengan pemburu berita. Dalam surat panggilan disebutkan bahwa pemeriksaan terhadap mereka dilakukan sekitar pukul 10.00 di ruang Reskrim Polwiltabes Semarang. Tapi, hingga pukul 10.00, tidak ada tanda-tanda pemeriksaan berlangsung.
Namun tiba-tiba, ada informasi lain bahwa pemeriksaan berlangsung di Polsek Ambarawa. Sebab, lokasi antara rumah Ulfa dan tempat tinggal Syeh Puji tidak terlalu jauh dengan Polsek Ambarawa. Namun, belakangan ada kabar pindah lagi ke Polres Semarang yang lokasinya di tengah Kota Ungaran. Namun, itu pun tidak terwujud.
Menjelang pukul 11.00, ada kabar bahwa pemeriksaan dilakukan di kawasan objek wisata Bandungan. Tepatnya, di salah satu hotel melati. Namun, hingga berita ini ditulis, tidak ada kepastian, apakah rencana pemeriksaan itu jadi dilakukan atau tidak.
Keluarga Suroso kemarin juga mempertanyakan kelanjutan penyerahan Ulfa bila perkawinan yang penuh kontroversi itu dibatalkan. "Apakah Ulfa kembali dalam keadaan utuh. Artinya, dia bisa ceria seperti sedia kala. Tidak hanya diserahkan begitu saja, harus dipikirkan masa depannya," kata kakek tiri Ulfa, Rafi'i, kepada wartawan kemarin.
Rafi'i menegaskan, dirinya sekeluarga tidak rela kalau nasib Ulfa yang terpaksa melepas statusnya sebagai siswa kelas II SMP Negeri 1 Bawen itu tidak jelas pasca penyerahan kembali kepada orang tuanya. "Anak itu sedang menderita dengan adanya peristiwa ini. Dia bingung dan menanggung malu," tambahnya. (dm/el)

X.MENYIMAK SISI POSITIF KASUS PERNIKAHAN SYEH PUJI

Nama Syekh Puji saat ini sedang menjadi buah bibir orang banyak. Tindakannya menikahi seorang wanita berumur 12 tahun yang bernama Lutviana Ulfa melejitkan popularitasnya. Setiap pagi, di acara berita pagi di berbagai stasiun televisi selalu saja muncul sosoknya yang nyentrik.
Kasus Syekh Puji kali ini benar-benar jarang terjadi dan mungkin yang pertama kali di Indonesia. Syekh Puji layak mendapat penghargaan dari museum rekor Indonesia. Melihat situasi ini, berbagai pihak mulai bereaksi. Mulai dari Komnasham, Lembaga Keagamaan sampai ke Kek Seto yang mewakili Komisi Perlindungan Anak. Reaksi kesemuanya berbeda. Namun tetap satu tujuan yakni tidak setuju dengan apa yang dilakukan Syekh Puji. Jika ada suatu kasus, pastilah akan muncul dua belah kubu yang berbeda yakni kubu yang pro dan yang kontra.
Kubu yang kontra begitu mendominasi di layar kaca. Banyak alasan berhamburan dari kubu ini. Dari hamburan alasan itu kesimpulannya kurang lebih seperti ini: terganggunya mental Ulfa (yang dinikahi Syekh Puji) kemudian pernikahan Syekh Puji itu melanggar aturan pernikahan yang berlaku di Indonesia.
Kita sampingkan terlebih dahulu tanggapan-tanggapan negatif itu. Tidak ada salahnya kita coba melihat kejadian ini dari sisi positifnya. Memandang sisi positif itu bukan berarti memihak jadi untuk Syekh Puji jangan ge-er terlebih dahulu. Mari kita mulai pembahasan ini.
Lutviana Ulfa sudah berumur 12 tahun. Secara teori dia sudah masuk masa akil balig. Pada usia itu Ulfa sudah mulai mengenal yang baik dan yang buruk untuk dirinya dan orang tuanya. Mungkin saat ini Ulfa mengalami tekanan batin yang dalam. Tetapi dia tetap diam, karena dia memiliki sebuah alasan agar dia tetap melanjutkan jalan yang telah dia pilih. She was fine… Don’t think negatively with that…
Sebenarnya ada hal penting lain yang tidak terpikirkan dibalik kasus Syekh Puji ini. Yakni beruntungnya Ulfa bisa menikah pada usia itu. Kenapa? Dengan pernikahan yang sah secara agama itu Ulfa terhindar dari zinah yang lagi digandrungi kaum muda saat ini. Dia tidak akan mengalami tindakan-tindakan HARAM dari laki-laki yang tidak halal baginya. Bahkan Ulfa bisa menjadi lebih mulia daripada wanita lain yang lebih tua darinya yang sering dipegang-pegang tangannya, dipeluk tubuhnya, dicium bibirnya, bahkan dirusak kehormatannya oleh laki-laki yang dianggap sebagai pacar (bukan suami) yang jelas-jelas HARAM baginya. Kok aktivitas-aktivitas yang jelas-jelas haram tidak pernah dibahas secara serius? Kemana Komnasham, Lembaga Agama, ataupun Kek Seto ketika itu sedang “tren”? Apakah karena aktivitas-aktivitas itu sudah biasa? Sedangkan penikahan yang halal secara agama malah dibahas habis-habisan. Apakah karena itu tidak biasa? Aneh. Ternyata di Indonesia, baik dan buruk itu tidak berlaku. Yang berlaku adalah biasa dan tidak biasa.
Daripada menyalah-menyalahkan tindakan Syekh Puji, kenapa tidak kita sedikit perbaharui saja syarat menikahnya. Menikah di Indonesia itu ribet dan mahal. Melihat dua hal ini, pantas saja orang lebih suka mengambil jalan zinah daripada menikah. Dosa lho kalau menyusahkan jalan orang yang mau menikah. Hehehe… Dan itu PR untuk para pejabat yang terkait.
Asal niat Syekh Puji menikahi Ulfa itu baik, kita permudah jalannya. Toh istrinya juga mengijinkan. Kalaupun ada niat jahat, biarlah itu menjadi urusannya dengan Allah SWT Yang Maha Tahu. Nikah itu suatu ibadah yang mulia. Hanya orang yang berhati mulia yang akan memberikan jalan kemudahan untuk orang lain yang akan melaksanakan ibadah mulia itu.
Nama Syekh Puji saat ini sedang menjadi buah bibir orang banyak. Tindakannya menikahi seorang wanita berumur 12 tahun yang bernama Lutviana Ulfa melejitkan popularitasnya. Setiap pagi, di acara berita pagi di berbagai stasiun televisi selalu saja muncul sosoknya yang nyentrik.
Kasus Syekh Puji kali ini benar-benar jarang terjadi dan mungkin yang pertama kali di Indonesia. Syekh Puji layak mendapat penghargaan dari museum rekor Indonesia. Melihat situasi ini, berbagai pihak mulai bereaksi. Mulai dari Komnasham, Lembaga Keagamaan sampai ke Kek Seto yang mewakili Komisi Perlindungan Anak. Reaksi kesemuanya berbeda. Namun tetap satu tujuan yakni tidak setuju dengan apa yang dilakukan Syekh Puji. Jika ada suatu kasus, pastilah akan muncul dua belah kubu yang berbeda yakni kubu yang pro dan yang kontra.
Kubu yang kontra begitu mendominasi di layar kaca. Banyak alasan berhamburan dari kubu ini. Dari hamburan alasan itu kesimpulannya kurang lebih seperti ini: terganggunya mental Ulfa (yang dinikahi Syekh Puji) kemudian pernikahan Syekh Puji itu melanggar aturan pernikahan yang berlaku di Indonesia.
Kita sampingkan terlebih dahulu tanggapan-tanggapan negatif itu. Tidak ada salahnya kita coba melihat kejadian ini dari sisi positifnya. Memandang sisi positif itu bukan berarti memihak jadi untuk Syekh Puji jangan ge-er terlebih dahulu. Mari kita mulai pembahasan ini.
Lutviana Ulfa sudah berumur 12 tahun. Secara teori dia sudah masuk masa akil balig. Pada usia itu Ulfa sudah mulai mengenal yang baik dan yang buruk untuk dirinya dan orang tuanya. Mungkin saat ini Ulfa mengalami tekanan batin yang dalam. Tetapi dia tetap diam, karena dia memiliki sebuah alasan agar dia tetap melanjutkan jalan yang telah dia pilih. She was fine… Don’t think negatively with that…
Sebenarnya ada hal penting lain yang tidak terpikirkan dibalik kasus Syekh Puji ini. Yakni beruntungnya Ulfa bisa menikah pada usia itu. Kenapa? Dengan pernikahan yang sah secara agama itu Ulfa terhindar dari zinah yang lagi digandrungi kaum muda saat ini. Dia tidak akan mengalami tindakan-tindakan HARAM dari laki-laki yang tidak halal baginya. Bahkan Ulfa bisa menjadi lebih mulia daripada wanita lain yang lebih tua darinya yang sering dipegang-pegang tangannya, dipeluk tubuhnya, dicium bibirnya, bahkan dirusak kehormatannya oleh laki-laki yang dianggap sebagai pacar (bukan suami) yang jelas-jelas HARAM baginya. Kok aktivitas-aktivitas yang jelas-jelas haram tidak pernah dibahas secara serius? Kemana Komnasham, Lembaga Agama, ataupun Kek Seto ketika itu sedang “tren”? Apakah karena aktivitas-aktivitas itu sudah biasa? Sedangkan penikahan yang halal secara agama malah dibahas habis-habisan. Apakah karena itu tidak biasa? Aneh. Ternyata di Indonesia, baik dan buruk itu tidak berlaku. Yang berlaku adalah biasa dan tidak biasa.
Daripada menyalah-menyalahkan tindakan Syekh Puji, kenapa tidak kita sedikit perbaharui saja syarat menikahnya. Menikah di Indonesia itu ribet dan mahal. Melihat dua hal ini, pantas saja orang lebih suka mengambil jalan zinah daripada menikah. Dosa lho kalau menyusahkan jalan orang yang mau menikah. Hehehe… Dan itu PR untuk para pejabat yang terkait.
Asal niat Syekh Puji menikahi Ulfa itu baik, kita permudah jalannya. Toh istrinya juga mengijinkan. Kalaupun ada niat jahat, biarlah itu menjadi urusannya dengan Allah SWT Yang Maha Tahu. Nikah itu suatu ibadah yang mulia. Hanya orang yang berhati mulia yang akan memberikan jalan kemudahan untuk orang lain yang akan melaksanakan ibadah mulia itu.